Subliminal Messages_subminal_Personal Development Made Simple With Subliminal Messages

Subliminal MP3s Powerful Subliminal Messages

SELAMAT DATANG

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA KE SITUS KAMI, SEMOGA BERMANPAAT BAGI ANDA

Cari Blog Ini

Rabu, 01 Juni 2011

Case Study dalam Pembelajaran


Case Study dalam Pembelajaran










Oleh

 Teuku Alamsyah


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
November
2008


 CASE STUDY: EVALUASI DIRI SEORANG GURU

1. Pendahuluan

Apakah saya sudah profesional sebagai seorang guru? Sebuah pertanyaan yang mudah dilontarkan, tetapi tidak terlalu mudah untuk dijawab. Dilihat dari kacamata orang awam, menjadi guru tidaklah terlalu sulit. Memiliki sedikit pengetahuan dan keberanian berdiri di depan siswa di kelas, maka jadilah seorang guru.
Hal demikian diyakini dan diasumsikan oleh sebagian orang. Selain itu, banyak  juga yang meyakini bahwa untuk menjadi guru, seseorang harus sudah menempuh pendidikan keguruan dan memiliki sertifikat untuk menjadi guru. Namun, barang-kali hanya sedikit orang yang bersedia menyisakan sedikit pikirannya untuk berpikir bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Bahkan, para guru sendiri, dalam jumlah yang sedikit, mungkin juga pernah berpikir bahwa tugas guru adalah berdiri di  kelas dan menyampaikan sejumlah pengetahuan kepada siswa dari pukul sekian sampai pukul sekian. Ini adalah rutinitas seorang guru. Mereka menyebut pula, “Saya adalah guru senior yang sudah cukup berpengalaman”. Ini memang tak terbantahkan jika kesenioran hanya dipandang dari lamanya masa tugas sebagai guru dan pengalamannya berdiri di depan kelas. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan guru karena bagaimanapun manusia-manusia berkualitas yang pernah kita kenal tentunya tidak terlepas dari bimbingan dan didikan seorang guru.
Penulis yang juga seorang guru, dengan tulisan ini bermaksud berbagi sedikit pengalaman untuk menambah wawasan kita tentang guru dalam konteks pembelajaran. Marilah kita menyimak sebuah cerita berikut yang dituturkan oleh seorang mahasiswa calon guru.
Ketika itu saya kelas I SMP. Guru saya, pengasuh mata pelajaran X masuk kelas, bertanya jawab sebentar dan kemudian meminta ketua kelas kami menulis materi pelajaran di papan tulis untuk kami. Kemudian guru tersebut meninggalkan ruang kelas. Kami materi pelajaran sebagaimana yang ditulis oleh ketua kelas di papan tulis. Ketika waktu untuk pelajaran X tersisa 10 menit lagi, guru kembali ke kelas sambil berujar, “Anak-anak pelajaran kita hari ini kita akhiri sampai di sini, pelajari baik-baik materi yang baru kalian catat. Materi ini adalah materi penting. Kemudian beliau mengucapkan salam dan bergegas meninggalkan ruang kelas untuk mengajar di kelas yang lain. Selama satu semester,  saya masih ingat bahwa guru mata pelajaran X  hanya beberapa kali menjelaskan materi pelajaran kepada kami. Selebihnya, kami hanya mencatat materi yang dituliskan oleh ketua kelas di papan tulis. Namun, tidak pernah sedikit pun terbersit dalam pikiran kami untuk protes terhadap model pembelajaran yang demi-kian. Kala itu, saya, mungkin juga teman-teman saya, berpikir bahwa cara seperti itu adalah salah satu cara mengajar. “Oh begitu mudah menjadi guru” begitu saya pernah berpikir.
Hari ini, ketika saya menyimak pembacaan sebuah pengalaman pembelajaran (narasi case study) yang ditulis oleh seorang guru, pengetahuan saya bertambah. Saya menyadari bahwa adalah suatu kekeliruan jika  seorang guru hanya bisa meminta ketua kelas menulis materi pelajaran di papan tulis atau mendiktekan materi pelajaran kepada siswa hingga jam pelajaran berakhir.  Kiranya, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu seperti kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Saya menanamkan sebuah tekad di dalam hati, andai nanti saya menjadi guru, saya tidak akan mengulangi kekeliruan seperti mendiktekan materi pelajaran, menulis materi di papan tulis tanpa penjelasan apa-apa, mengabaikan pertanyaan siswa, kurang menghargai jawaban siswa, dan hal-hal lainnya yang merupakan kekeliruan dalam sebuah pembelajaran. Saya akan menunjukkan bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Demikian kisah seorang mahasiswa calon guru.
Apa makna yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Kisah tersebut menunjukkan kepada kita tentang pentingnya seorang guru menulis pengalaman pembelajarannya. Peng-alaman tersebut akan berguna bagi guru itu sendiri sebagai evaluasi diri (self evaluation) dan berguna bagi orang lain terutama para guru dan calon guru tentang bagaimana seharusnya sebuah pembelajaran berlangsung. Pengalaman pembelajaran yang ditulis oleh seorang guru dalam bentuk narasi inilah yang dikenal sebagai case study.
Menarik juga untuk dicermati pengalam-an guru dalam konteks pembelajaran berikut ini.      
“Tolong nyalakan kipas angin itu!” kata guru fisika. Seorang siswa berdiri dan memutar saklar kipas angin, ke-mudian kipas berputar. “Mengapa kipas ini dapat berputar?” sang guru  bertanya. “Ya, karena sudah dinyalakan, Pak!”  jawab siswa. “Betul sekali,” sahut guru. “Apa artinya menyalakan?” Seorang siswa menjawab dengan sekenanya, “Menyalakan artinya memberikan aliran listrik, Pak.” Dengan cepat guru menyahut, ‘Ya, Anda benar.” Siswa itu terkejut tidak mengira jawabannya benar. Ia jadi tertarik ingin terlibat dalam pembicaraan fisika kali ini. “Mengapa dengan adanya aliran listrik kipas angin ini berputar?” sang guru merumuskan pertanyaan yang lebih spesifik. Tampak para siswa belum menemukan jawaban—sekonyol apa pun. Tapi, salah satu siswa membuka-buka buku fisikanya. Didapatinya materi pertama cawu ini adalah induksi mag-netik. Dengan santainya ia berucap, “Karena induksi magnetik” “Ya, benar. Induksi magnetik adalah penyebabnya” sang guru mempertegas. “Ha...induksi magnetik! Mengapa begitu Pak?” tanya para siswa. Inilah saat yang tepat memulai pembelajaran.
Menyimak penggalan pembelajaran tersebut, seorang guru atau calon guru dapat memetik beberapa pengalaman tentang bagaimana seharusnya sebuah pembelajaran berlangsung. Beragam gaya dapat diterapkan oleh seorang guru untuk memulai pembelajaran. Penggalan pembelajaran tersebut memperlihatkan fakta-fakta yang dilakukan guru (1) tidak meminta ketua kelas menulis materi pelajaran di papan tulis, (2) tidak mendiktekan materi pelajaran, (3) tidak berceramah, (4) memberi kesempatan kepada semua siswa untuk berpartisipasi, (5) mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang komu-nikatif sehingga mudah dipahami siswa, dan (6) menghargai siswa dan menghargai jawaban mereka yang disertai dengan penguatan.  Penggalan pengalaman pembelajaran bidang studi fisika tersebut jika diberii sentuhan-sentuhan emosional, hasilnya adalah sebuah narasi pembelajaran yang lebih dikenal sebagai case study.

2. Hakikat Case study
(Sebagian besar uraian tentang case study berikut ini materinya diperoleh dari pelatihan case study di MTL FKIP Unsyiah pada Januari s.d. Juni 2008. Pada uraian tersebut tercermin pikiran-pikiran Ibu Mary F. Sanders dan  A.R Asy’Ary, serta pikiran-pikiran peserta pelatihan pembelajaran berbasis case study, semua terang-kum dalam tulisan ini.)
Case study atau studi kasus  adalah rang-kuman pengalaman pembelajaran (pengalaman mengajar) yang ditulis oleh seorang guru/dosen dalam praktik pembelajaran mereka di kelas. Pengalaman tersebut memberikan contoh nyata tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh guru pada saat mereka melaksanakan pembel-ajaran. Gunanya adalah melalui pengkajian case study dalam pembelajaran dengan segala kompo-nennya, para guru dapat melakukan evaluasi diri (self evalution), dapat memperbaiki dan sekaligus dapat meningkatkan praktik pembelajaran me-reka di kelas. Bagi para calon guru, kajian terhadap case study akan dapat membuka wawas-an mereka terhadap pembelajaran dan mena-namkan konsep bagaimana seharusnya pembelajaran itu berlangsung.
            Di sisi lain, case study tentang pembel-ajaran dapat digunakan untuk membantu, baik guru maupun mahasiswa calon guru dalam memahami hakikat  pembelajaran. Studi kasus seperti ini menjadi catatan penting dalam pelaksanaan pembelajaran secara nyata. Case study ditulis dalam bentuk narasi dan berisi pengalaman pembelajaran yang paling berkesan yang Anda ingat karena kesuksesannya, kesulitan, atau pengalaman yang penuh problematika. Case study ditulis dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
(1)      Case study ditulis dalam bentuk cerita naratif yang sangat rinci dan sangat erat kaitannya dengan pengalaman yang Anda alami.
(2)      Case study tersebut sedapat-dapatnya harus ringkas.  Maksimum dua halaman ketikan. Namun, jika pengalaman yang akan diungkap dalam case study tergolong cukup esensial sebagai pengalaman bagi orang lain, case study dapat juga ditulis melebihi dua halaman ketikan.
(3)      Case study harus memuat unsur kemanusiaan: kemauan yang Anda miliki, tindakan dan kesalahan Anda yang mengecewakan dan rasa kesenangan atau kekecewaan pada saat selesainya pembahasan.
(4)      Case study harus memiliki judul yang dapat mewakili keseluruhan isi pengalaman pembelajaran yang dituliskan.
(5)      Pengalaman yang dituangkan dalam case study adalah ungkapan kejujuran. Artinya, cerita dalam case study adalah cerita kejujuran.







3. Manfaat Case study
Manfaat yang dapat dipetik dari case study bagi guru dan bagi mahasiswa calon guru dapat dikemukakan sebagai berikut.
(1)     Sebagai evaluasi diri (self evalution) bagi guru untuk dapat memperbaiki dan sekaligus dapat meningkatkan praktik pembelajaran mereka di kelas.
(2)     Sebagai pembuka wawasan mahasiswa calon guru terhadap pembelajaran dan penanaman konsep bagaimana seharusnya pembelajaran itu berlangsung.
(3)     Guru dan mahasiswa calon guru dapat belajar dari kegagalan orang lain (guru pe-nulis case study).
(4)     Menemukan kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran berdasarkan pengalaman penulis case study.
(5)     Mahasiswa calon guru dapat memperoleh gambaran yang nyata tentang dunia anak khususnya di sekolah, termasuk di dalamnya memahami psikologi anak.
(6)     Guru dan mahasiswa calon guru dapat menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang tepat sehingga tidak mengulangi kekeliruan yang dialami oleh penulis case study.
(7)     Keberhasilan yang dialami oleh penulis case study dapat menjadi acuan bagi orang lain (guru dan calon guru).
(8)     Bagi guru pamong, case study bermanfaat dalam pembimbingan mahasiswa PPL me-laksanakan pembelajaran agar menjadi lebih baik.
(9)     Dengan mengkaji case study, guru ataupun calon guru menjadi lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih berani mengungkapkan kegagalan yang dialaminya dalam pembel-ajaran.
(10)   Guru dan calon guru dapat belajar menulis pengalaman pembelajarannya dalam bentuk narasi pembelajaran.






4. Tujuan Menggunakan Case study dalam Pembelajaran

Tidak selalu jelas dan juga tidak disepakati apa permasalahan sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran, tetapi sangat penting sekali untuk dapat mengidentifikasi apa permasalahan pokok yang sebenarnya sehingga kita dapat mempelajari pelajaran tersebut secara tepat berdasarkan pengalaman. Ini bukan berarti dapat membe-tulkan interpretasi. Sepertinya setiap komentator memiliki pandangan yang saling berbeda tentang isu penting apa sebenarnya yang ada. Ini bertujuan menunjukkan kepada pembaca macam-macam isu yang dapat ditemukan dalam sebuah pembehasan pembelajaran dan macam-macam perspektif tentang pembahasan apa yang disampaikan. Berikut ini adalah sebuah contoh kisah seorang guru yang menulis tentang pembahasan mata pelajaran fisika yang pernah dia ajarkan dan bagaimana dia mengajarkannya.


“Galileo Dikaji Ulang” Oleh Gerald Carey

·          Fisika selalu menarik bagi saya, tetapi sayangnya saya tidak menguasai ide dasar Fisika. Sebenarnya saya telah mengajar Fisika kelas 10 secara sporadis beberapa tahun terakhir ini. Sebagai seorang guru Biologi, saya merasa bahwa semestinya pelajaran ini menarik, tetapi ternyata malah selalu membosankan. Saya yakin hal yang sama juga dialami oleh para siswa. Saya belum pernah merasa mantap dengan mata pelajaran ini. Fisika dalam pandangan saya seperti sebuah kumpulan konsep yang terhubungkan secara samar-samar dan dibanjiri oleh rumus. Karena pemahaman saya terhadap cahaya atau hukum gerak sangat lemah dan dangkal, saya tidak mampu menjelaskan konsep ini dengan penuh percaya diri. Begitu juga ketika praktikum Fisika. Semua trolley, ticker times, dan kotak lampu tidak memberikan makna apa-apa bagi-semuanya hanya sekadar upaya meng-ilustrasikan sebagian aspek kecil dari teori tanpa betul-betul memberikan kejelasan. Bagaimana saya dapat membantu pemaham-an siswa saya kalau saya sendiri seperti ini?
·          Tahun ini berbeda. Hubungan dekat dengan seorang guru Fisika yang berdedikasi dan akses untuk memperoleh buku yang baik (tanpa terlalu banyak rumus) telah mem-berikan pemahaman yang lebih baik kepada saya. Saya betul-betul ingin mengajarkan topik tersebut. Akan tetapi, saya tidak yakin apakah hal yang baru ini bisa membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik? Akankah mereka belajar sesuatu yang signifikan dan relevan? Mari perhatikan pengalaman saya berikut dan tolong Anda menjadi hakimnya.
·          Pada awalnya, pelajaran dimulai dengan hukum I Newton tentang gerak, yakni: “Benda yang diam akan selalu diam dalam kecepatan itu kecuali dikenai suatu gaya.” Pemahaman terhadap hukum ini sangat bergantung kepada pemahaman tentang “inersia” serta dampak dari gesekan dan hambatan udara. Pada hari yang istimewa ini saya masuk ke kelas 10 dengan tujuan mencoba menunjukkan sebanyak mungkin contoh dari hukum I Newton.
·          Contoh-contoh yang saya berikan antara lain:
ü  Jika kalian mengendarai gokart akan berhenti, tetapi kalian akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan (terlempar) sampai kalian dihentikan oleh suatu gaya (nama-nya tanah).
ü  Sangat penting untuk selalu menempatkan anak kecil duduk di kursi belakang mobil sebab jika mobil berhenti tiba-tiba, inersianya melemparkan penumpang ke kaca de-pan.
ü  Jika membawa satu mangkuk besar air dan berhenti secara tiba-tiba, besar sekali peluang air tersebut akan tumpah. Air itu akan terus bergerak dengan kecepatan yang kon-stan kendatipun kalian sudah menghentikan mangkoknya.
·          Demikianlah, pelajaran tersebut berlangsung. Saya tidak begitu yakin apakah saya sudah berhasil memberi dampak pengertian kepada mereka. Saya kemudian mendisku-sikan peranan dari hambat udara dalam menghentikan benda yang bergerak dengan kecepatan tetap. Saat itu semua siswa di kelas tidak tahu dari apa udara terbentuk dan mengapa bisa menghambat gerakan udara. Saya memberi contoh tentang kegiatan mengendarai sepeda pada waktu angin kencang. Saya bertanya kepada mereka, “Apa yang ada di dalam angin sehingga sepeda berjalan lebih lambat?” Saya kemudian menawarkan gagasan bahwa molekul-molekul gas di udaralah yang secara bersa-ma-sama mempengaruhi untuk meng-hambat gerakan benda itu. Saya merasa senang melihat betapa kepala mereka meng-angguk-angguk walaupun saya melihat pula tatapan mereka masih terlihat hampa.
·          Singkat cerita, saya kemudian membahas eksperimen Galileo yang diakui dilakukan di Menara Pisa yakni menjatuhkan dua buah benda yang berukuran sama dengan berat berbeda. Saya katakan bahwa kita dapat mengilustrasikan eksperimen tersebut di dalam kelas untuk membantu kita memahami dampak dari hambat udara.
·          Saya pegang sejajar satu stopmap datar dan secarik kertas dan saya minta kepada siswa untuk memprediksikan mana yang akan menyentuh lantai terlebih dahulu. Kebanya-kan siswa menyatakan bahwa stopmaplah yang akan menyentuh lebih awal. Menurut mereka, stopmap lebih berat daripada secarik kertas. Karena itu, stopmaplah yang akan mencapai lantai terlebih dahulu. Saya jatuh-kan keduanya dan ternyata memang benar bahwa stopmap menyentuh lantai terlebih dahulu.
·          Selanjutnya, saya letakkan secarik kertas tersebut tersebut stopmap dan kembali saya tanyakan kepada mereka mana yang lebih cepat menyentuh lantai? Sekali lagi mereka menjawab bahwa stopmap yang akan mencapai lantai terlebih dahulu. Mereka yakin seperti itu karena menurut mereka stopmap itu lebih berat daripada secarik kertas.
·          Saya jatuhkan keduanya dan bertentangan dengan intuisi mereka. Ternyata, secarik kertas yang akan ditempelkan tersebut stopma itu tidak melayang-layang. Ia ikut dan tetap menempel bersama dengan stopmap tersebut serta melaju jatuh ke lantai dengan kecepatan yang sama. Mereka mengira bahwa saya menipu mereka dengan cara saya memberikan alat perekat kepada kertas itu. Nah, untuk mengakhiri kecuri-gaan itu, saya kemudian meremas-remas kertas itu menjadi berbentuk bola, saya jajarkan dengan stopmap dan saya minta mereka membuat prediksi lagi. Mereka tetap mengatakan bahwa stopmaplah yang akan menyentuh lantai lebih dahulu. Saya jatuhkan keduanya dan “AHA” keduanya jatuh hampir bersamaan.
·          Ketika saya meminta penjelasan terhadap pengamatan mereka, banyak siswa yang kebingungan. Pengalaman mereka selama ini menunjukkan bahwa semakin berat suatu benda, semakin cepat jatuhnya. Akan tetapi, mereka baru saja melihat bahwa persepsi seperti ini ternyata tidak selalu benar. Kebingungan seperti ini adalah hal yang bagus. Kebingungan ini terjadi disebabkan oleh tertantangnya apa yang mereka yakini seba-gai suatu kebenaran, bukan karena tidak memahami penjelasan saya.
·          Ini merupakan suatu kebingungan yang muncul ketika apa yang selama ini Anda yakini ditantang dan bukan karena semata-mata karena mereka tidak mengerti penjelasan saya. Ini penting sekali bahwa mereka alami tahap kebingungan karena ini bermaksud bahwa mereka akan terbuka untuk menjelaskan penjelasan ilmiah tentang struktur udara dan bagaimana udara dapat mendesak gaya pada benda, gaya yang kita sebut hambat udara. Dari diskusi yang muncul, begitu siswa meninggalkan ruangan kelas tampaknya beberapa ide yang saya sampaikan akan sampai ke rumah dan beberapa ide instuitif mereka aka ditantang. Apa bedanya pelajaran ini bagi siswa yang mempelajari topik yang sama tahun lalu?
  
Apa inti cerita tersebut? Ini merupakan pertanyaan kunci bagi Gerald dan lainnya untuk dijawab bahwa cerita mereka tentang pengalam-an mengajar akan memberikan kontribusi pembelajaran kepada mereka. Agar terfokus pada pemikiran mereka pada kasus-kasus terse-but, kami meminta setiap guru untuk mengum-pulkan empat komentar mereka. Satu komentar dipersiapkan oleh guru, yang lainnya oleh seorang guru praktik atau guru baru dan komentar ketiga disampaikan oleh guru yang berpengalaman atau pendidik guru. Akhirnya, guru-guru itu diminta untuk mendiskusikan ketiga komentar tersebut pada tugas mereka dan mengambil beberapa kesimpulan tentang kasus itu.
(1) Komentar Pertama Gerald
Tiga minggu setelah ia menulis kasus itu, Gerald menulis komentar singkat tentang kasus tersebut. Melihat kembali pada “Galileo Dikaji Ulang” dia mencatat bahwa tidak setiap pelajaran sejak saat itu sebagus yang ini.

Saya selalu frustrasi dengan pengetahuan saya yang kurang dalam bidang ini. Tidak begitu banyak dengan teori, tetapi tentang semua cerita, pengalaman dan demonstrasi yang sangat penting agar membantu siswa untuk dapat lebih memahami pelajaran. Cerita ini benar-benar menggambarkannya dengan baik dan saya ingat dengungan di lab dengan siswa bersender melihat map dan kertas hijau, berargumen satu sama lain tentang perkiraan mereka dan meng-ajukan pertanyaan tentang apa yang mereka lihat.

Kemudian bagi Gerald, hal itu merupakan kasus kesuksesan yang pantas untuk dirayakan, satu kesempatan kecil ketika pembelajaran Fisikanya memenuhi standar dia sendiri atas keterlibatan siswa dalam proses pembel-ajaran. Pada saat Gerald menunjukkan ceritanya kepada ketua jurusan, Arthur, dia mendapatkan bacaan yang sedikit berbeda.
   
(2) Komentar Ketua Jurusan
Arthur memulai dengan mengobservasi bahwa cerita itu menyoroti permasalahan pembelajaran Fisika oleh orang yang bukan ahlinya dan meng-anjurkan untuk menyusun kembali jadwal untuk mata pelajaran kelas 10 untuk memastikan kalau hal-hal seperti itu tidak terulang lagi tahun depan. Walaupun Arthur mengakui bahwa cerita itu memperlihatkan bahwa seorang guru “terbuka untuk belajar dan mau mendengar pendapat dari orang lain.” Dia kecewa karena Gerald tidak datang menjumpainya untuk me-minta nasihat. Sebagai guru Fisika  yang ahli dan berpengalaman, Arthur memiliki banyak saran untuk kegiatan yang akan memastikan bahwa siswa akan tertarik dan senang belajar.







Sangat sayang sekali bahwa seorang guru menutup pelajaran dengan pikiran siswa masih terbu-ka tanpa suatu tujuan dan hasil yang jelas. Dia telah dapat menantang siswa dengan memberi penjelasan dengan memberikan contoh-contoh dari efek hambat udara-kenapa truk dan mobil sport mempunyai sekup dan penghalang udara? Bagaimana perahu layar menggunakan “hambat udara” untuk berlayar menembus angin? Mereka malah bisa mendesain sebuah eksperimen untuk mengetes cara berlayar yang baik. Tanpa ada tindak lanjut seperti itu, saya kuatir apakah peng-alaman siswa yang baik yang mereka dimiliki akan berpengaruh untuk jangka waktu yang lama.

Bagi Gerald “Galileo Dikaji Ulang” merupakan kasus kesuksesan yang tidak biasanya dalam mengajar Fisika; Bagi Arthur ini merupakan kasus pembelajaran yang berpotensi menarik dengan membuat siswa “berpikir sendiri dengan pikiran mereka masing-masing”. 

(3) Komentar Calon Guru
Mary, seorang calon guru, menarik kesimpulan ketiga dari kasus tersebut. Apa yang sebenarnya dia sukai tentang “Galileo Dikaji Ulang” adalah pengetahuan yang mendalam yang dipetiknya dari cerita tersebut tentang “Bagaimana seorang guru benar-benar bekerja di ruang kelas?” Dia sangat terkejut betapa jujurnya Gerald, dan melihat perasaan frustrasi yang sama dalam pekerjaan praktik mengajar dia sendiri. Dia khususnya senang sekali dengan cara Gerald menceritakan suasana kelas dan nilai-nilai guru:

Cerita itu memberikan saya perasaan yang sebe-narnya terhadap ruangan kelas-pertanyaan diskusi dan jawaban. Kita hampir dapat merasa-kan suasana di dalam kelas…. Saya juga dapat memperoleh ide tentang hal-hal penting dari guru ini-frustrasi karena tidak sepenuhnya me-mahami mata pelajaran tahun-tahun sebelumnya; kegembiraan karena siswanya sangat antusias dengan topik pelajaran dan mau berpikir tentang konsep-konsep yang ada; pentingnya memiliki rasa percaya diri ketika mengajar.  

(4) Komentar Kedua Gerald
Setelah menyiapkan komentar pertamanya, dan mengumpulkan dua komentar yang lain, Gerald kemudian diminta untuk merefleksikan kembali pengalaman menuliskan kasus dan membaca komentar itu. Dia menyukai gagasan untuk menuliskan pembelajaran fisika dalam bentuk naratif, dan memandang hal itu akan bermanfaat bagi para siswa “sebagai suatu alat untuk membantu mereka merefleksikan diri mereka sendiri sebagai pelajar di dalam kelas’. Gerald juga senang dengan respon yang diberikan oleh seniornya (Arhtur). Di samping rasa malu karena dia tidak meminta nasihatnya sebelum ini, dia melihat bahwa komentar Arthur juga memuat saran-saran yang bermanfaat dan layak ditin-daklanjuti. Gerald juga menghargai peluang terjadinya percakapan profesional dengan koleganya. Dia memberikan komentar yang kedua sebagai berikut.
·        Saya merasa bahwa selama ini keangkuhan profesional saya telah menghambat saya untuk meminta bantuan kepada kolega. Melalui latihan ini, saya menemukan satu cara baru mengenal teman guru di luar waktu canda tawa yang terjadi ketika makan siang, dan dengan cara begini saya bisa menunjukkan kepribadian serta metode mengajar saya.
·        Pada akhirnya, Gerald mengomentari manfa-at dari mengumpulkan komentar pada studi kasusnya. Membaca kembali kasus dan komentar-komentar tersebut telah membantu dia “merefleksikan terhadap pelajaran yang telah dikembangkannya” serta “melihat apa yang betul-betul terjadi”. Dia merasa bahwa dia telah berhasil dalam memetik minat siswanya, tetapi dia juga merasa bahwa dia masih belum berhasil mempertahankan minat tinggi tersebut untuk belajar. Dia mengatakan bahwa berikutnya dia akan mencoba “menggarisbawahi” masalah minat ini dan tidak akan “menunggu hingga pelajaran berikutnya.”






Contoh case study yang lain:

SAYA INGIN LEBIH BERSAHABAT DENGAN MEREKA

oleh
Teuku Alamsyah

Mereka dalam konteks judul tersebut adalah siswa Sekolah Dasar. Saya akan mengajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Sesuai dengan tuntutan isi silabus, materi pokok pembelajarannya adalah cerita. Saya akan melaksanakan pembelajaran bercerita di Sekolah Dasar. Akankah saya mampu mengajar di Sekolah Dasar?   Pertanyaan ini telah mulai mengganggu benak saya sejak saya mengikuti Pelatihan/Workshop Penu-lisan Modul PPL/Pengajaran Mikro yang disponsori oleh ERA. Salah satu inti kegiatan itu adalah latihan mengajar di SD/MI berkolaborasi dengan teman-teman guru SD/MI.
            Saya memang seorang guru. Namun, profesi ini selama belasan tahun saya jalani ber-sama mahasiswa. Artinya, saya adalah seorang guru di perguruan tinggi. Melaksanakan pembel-ajaran bersama mahasiswa tentu bukanlah hal yang baru dan saya sangat menikmati pekerjaan ini. Mengajar di Sekolah Dasar/Madrasah Ibti-daiyah adalah sesuatu yang lain. Saya merasa sangat tidak siap untuk itu. Saya membayangkan akan berhadapan dengan anak-anak yang masih sangat lugu, masih banyak membutuhkan bimbingan dan arahan. Pengetahuan yang akan kita berikan kepada mereka adalah sesuatu yang sangat dasar yang akan menjadi bekal bagi mere-ka dalam mengikuti jenjang pendidikan berikutnya. Saya juga yakin bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran di tingkat dasar ini akan memberikan dampak yang kurang baik bagi anak untuk jangka waktu yang sangat lama. Inilah dasar pemikiran saya bahwa pembelajaran di Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah bukanlah sesuatu yang dapat dianggap mudah.
            Kamis, 24 Januari 2008, pukul 8.00 saya melaksanakan pembelajaran di kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh. Sesuai dengan isi silabus semester 2, saya mengajar Keterampilan Menyimak terintegrasi dengan Standar Kompe-tensi: Memahami cerita tentang suatu peristiwa dan cerita pendek anak yang disampaikan secara lisan, dan Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar, dan   amanat). Dua hari sebelum pembelajaran berlangasung, saya menyiapkan RPP dengan memilih teks cerita “Mahjubah si Pemalas”.
            Awal saya berdiri di depan kelas, saya melihat wajah anak-anak yang polos menantikan sepatah kata pembuka dari saya. Terus terang waktu itu saya agak bingung bagaimana saya harus memulai. Bagaimana saya harus menyapa mereka. Hampir saja saya menyapa, “Saudara-saudara!” Namun, tentu saja itu tak jadi. Saya memilih sapaan, “Anak-anak kita bertemu kembali dalam pelajaran Bahasa Indonesia.” “Hari ini kita melanjutkan topik yang sudah pernah kita singgung pada pertemuan sebelum-nya.” Ketika itu pula saya sadar telah melakukan ‘kebohongan’ karena kita memang belum pernah bertemu sebelumnya dalam konteks belajar-mengajar di kelas. Saya merasa mulai gugup. Namun, wajah polos anak-anak mengatasi kegugupan itu. Saya melanjutkan, “Anak-anak hari ini kita akan mendengarkan sebuah cerita yang berjudul “Mahjubah si Pemalas”. “Siapa di antara kamu yang tidak pernah mendengarkan cerita?” Tidak satu pun anak-anak menjawab. Saya melanjutkan, “Bapak yakin kamu semua pasti pernah mendengarkan cerita dan senang mendengarkan cerita.” (semua anak duduk dalam kelompok yang tampaknya kelompok di kelas itu sudah permanen, satu kelompok 5 orang).
            Saya membagikan fotokopi teks cerita. Kebetulan pada salah satu kelompok,  teks yang saya bagikan berlebih dan serta-merta seorang anak mengembalikannya kepada saya sambil berujar, “Pak ini lebih, Pak.” “Oh, ya, terima kasih” Dalam konteks ini saya melihat nilai kejujuran pada anak. Pengetahuan saya tentang anak bertambah. Mereka benar-benar ‘anak manusia’ yang perlu mendapat didikan dengan benar.
            Pembelajaran berlanjut. Setiap kelompok saya minta mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat berdasarkan cerita yang mereka simak dan sekaligus mereka baca. Sebelum anak-anak bekerja dalam kelompok mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat cerita,  saya mengajukan pertanyaan, “Siapa yang pernah me-nonton film?” (beberapa anak mengangkat tangan). “Bagus!” Tampaknya di kelas ini semua anak pernah menonton film! “Film apa saja yang pernah kamu tonton? (kelas hening, tidak ada yang menjawab). Memang kalau kita banyak menonton film, banyak film yang kita lupa judulnya bukan? Tidak apa! Yang penting semua anak pernah menonton film! Sekarang coba kita ingat film India. Pernah nonton film India? Dengan bersemangat semua anak menjawab, “Pernah, Pak!” “Iya, bagus!” Dalam film ada banyak pemain. Pemain film ini disebut juga tokoh. Dalam cerita yang kita baca juga begitu. Ada pelaku cerita yang lebih dikenal sebagai tokoh cerita. Jadi, dalam cerita ada tokoh utama dan tokoh pembantu. (Saya menjelaskan per-bedaan tokoh utama dan tokoh pembantu). Selain itu, dalam teks cerita seperti halnya film, juga ada tempat dan waktu berlangsungnya kejadian. Inilah yang dikenal sebagai latar. Tidak itu saja, setiap pengarang dalam ceritanya ingin mengemukakan suatu pokok persoalan kepada pembaca. Inilah yang dikenal sebagai tema. Menikmati sebuah cerita belumlah lengkap jika pembaca belum dapat memahami pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pesan ini lebih dikenal sebagai amanat cerita dan biasanya disampaikan oleh pengarang tidak secara nyata. Tugas pembacalah menemukan sendiri pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh peng-arang. Dengan demikian, cerita yang kita baca akan memberikan makna bagi kita dan memperkaya batin kita.
Nah! Anak-anak silakan bekerja dalam kelompok mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat dalam teks cerita “Mahjubah si Pemalas”. Semua anak tampak bersemangat bekerja. Namun, pada saat presentasi tugas kelompok, saya mengalami kesulitan, yaitu tidak satu pun kelompok bersedia tampil memaparkan tugas yang sudah mereka selesaikan. Saya merasa mereka malu. Dengan gaya bahasa tertentu, saya membujuk mereka. Setelah dibujuk-bujuk, kelompok I tampil menempelkan hasil kerja kelompoknya di papan tulis dan memaparkannya atau lebih tepat membacanya. Saya berharap akan ada tanggapan dari kelompok lain (seba-gaimana skenario pembelajaran yang sudah saya rancang dua hari sebelumnya). Harapan saya adalah harapan hampa. Tidak satu pun anak dari kelompok lain bersedia berkomentar dan ini tidak bisa dibujuk. Akhirnya, sharing dalam bentuk diskusi tidak bisa berlangsung hari itu.
            Saya melanjutkan pembelajaran dengan meminta semua kelompok menempelkan tugas kelompoknya di papan tulis dan membacakannya. Setiap satu kelompok selesai membacakan hasil kerja kelompoknya, penghargaan yang diberikan adalah tepuk tangan dan saya merasa semua anak antusias bertepuk tangan. Selain itu, saya juga merasa bahwa tidak semua anak dalam kelompok berpartisipasi penuh terhadap pem-belajaran. Beberapa anak terlihat wajahnya tanpa ekspresi dan saya merasa ada ‘ketidaknyamanan’ dalam batin saya. Saya menginginkan semua anak terlibat penuh dalam konteks pembelajaran.
            Hal lain yang merupakan bagian dari ‘ketidaknyamanan’ saya adalah penggunaan papan tulis. Saya merasa tulisan saya di papan tulis yang cenderung berbentuk denah lebih tepat untuk konteks perkuliahan di perguruan tinggi daripada untuk anak SD.
            Dari segi penggunaan bahasa, saya juga merasakan bahwa saya harus sangat lebih banyak belajar bagaimana seharusnya berbahasa dengan anak-anak. Berbahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak. Saya sangat tidak berharap anak SD akan ‘dewasa’ sebelum saat-nya tiba. Mereka masih anak-anak dan biarlah tetap anak-anak. Biarlah mereka menikmati dunianya, dunia kanak-kanak dengan ragam bahasa kanak-kanaknya. Saya merasa bahasa saya cende-rung tinggi untuk konteks pembelajaran di tingkat dasar.    
            Meskipun saya merasa tujuan pembel-ajaran atau target pembelajaran pagi itu 90% tercapai, masih ada ganjalan di benak saya ketika pembelajaran berakhir. Ganjalan itu antara lain adalah (1) bagaimanakah seharusnya kita meng-ajar? (2) Apakah semua anak menikmati pembel-ajaran ini? (3) Apakah bahasa sapaan saya dalam bentuk “kamu”, “kalian” terhadap anak-anak akan membekas dalam jiwa mereka sebagai bentuk sapaan yang kurang bersahabat? (4) Apa-kah pembelajaran saya tentang cerita “Mahjubah si Pemalas” memberikan makna tersendiri bagi anak-anak? Namun, saya mengakhiri pembelajaran hari itu dengan sebuah senyum, sebuah sen-yum bahagia mendapat kesempatan bertemu anak-anak sekolah dasar karena saya pun pernah menjadi anak-anak.
            Di penghujung pembelajaran, sebagai refleksi saya ajukan sebuah pertanyaan, “Bagaimana anak-anak pembelajaran hari ini dengan Bapak Guru yang baru?” Jawaban yang diberikan oleh seorang anak kiranya sangatlah patut untuk kita renungkan bersama, yaitu “Kami senang Pak, karena Bapak tidak marah-marah”. Sebuah jawaban yang cukup jujur tentunya.


Refleksi
(Penulis case study: Teuku Alamsyah)

Saya merasa teramat lega setelah mengung-kapkan secara tertulis semua yang saya rasakan ketika saya melaksanakan pembelajaran di kelas V SD. Ada sebuah tanya yang terus bergayut di dada, apakah semua anak yang ikut pembelajaran saya memahami dengan baik semua yang seharusnya memang mereka pahami hari itu? Kalaulah masih ada kesempatan, saya ingin melanjutkan lagi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh untuk memastikan bahwa kehadiran saya di kelas mereka hari itu memberikan urunan yang berarti dalam pembekalan pemahaman nilai-nilai positif dalam cerita.
Masih segar dalam ingatan saya wajah tiga orang anak yang kurang ekspresif ketika pembelajaran berlangsung. Betapa andai bisa kembali, saya ingin lebih ‘bersahabat’ dengan mereka. Mengapa ekspresi anak-anak itu seperti kurang bergairah? Kita semua tentu berharap agar semua anak dapat mengikuti pembelajaran tanpa beban di luar konteks pembelajaran. Mungkin dalam hal ini saya terlalu emosional. Namun, inilah yang memang saya rasakan.
Pelajaran atau nilai yang dapat dipetik dari cerita “Mahjubah si Pemalas” adalah pembentukan perilaku anak agar mereka tidak melakukan atau mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh Mahjubah. Sebuah kon-sep yang sederhana memang, tetapi memiliki makna yang dalam. Dengan kata lain, dalam cerita Mahjubah banyak terkandung nilai pendidikan, nilai moral, dan nilai agama yang cukup penting bagi anak-anak.
Refleksi anak-anak terhadap Mahjubah (hasil tugas PR) juga cukup beragam. Secara umum anak-anak mengatakan bahwa mereka senang membaca cerita Mahjubah. Mereka senang pada Mahjubah. Walaupun pada awal cerita Mahjubah gadis yang malas, pada akhir cerita Mahjubah telah berubah. Namun, terhadap pertanyaan Apa yang akan kamu lakukan seandainya kamu menjadi Mahju-bah? Umumnya anak-anak menjawab mereka tidak ingin seperti Mahjubah. Kalaupun harus menjadi Mahjubah, mereka akan rajin membantu orang tua, rajin salat, dan pergi ke sekolah tepat pada waktunya.
Refleksi yang ditulis oleh anak-anak terhadap Mahjubah semakin  melengkapi keber-maknaan kehadiran saya di kelas mereka. Saya mengoleksi tulisan mereka. Bagi saya, ungkapan anak-anak itu tentang Mahjubah adalah ung-kapan kejujuran nurani. Akhirnya, saya men-yadari sepenuhnya bahwa untuk menjadi guru, terutama guru Sekolah Dasar, diperlukan kompetensi yang memadai baik kompetensi akade-mik maupun kompetensi pedagogik.






































Komentar Pengamat I
Yusfaini, S. Pd.

            Saya mengamati Pak Teuku mengajar dari awal sampai akhir. beliau sudah berupaya semaksimal mungkin tampil di depan siswa sebagaimana layaknya seorang guru Sekolah Dasar. Dari sisi kehadirannya di depan kelas, saya tidak melihat ada kejanggalan yang terlalu berarti. Namun, sebagai pengalaman pertama berdiri di depan siswa SD, tampaknya beliau agak sedikit gugup pada awalnya. Mungkin beliau ‘agak terkejut’ mengapa hari ini yang dihadapinya wajahnya jauh berbeda dengan wajah-wajah yang selama ini akrab dalam pandangannya. Akan tetapi, Pak Teuku dapat mengatasi hal itu dengan baik dan wajar.
            Saya terus terang terkesan dengan materi pembelajaran yang disiapkannya, yaitu cerita tentang seorang anak perempuan yang pemalas. Anak perempuan itu Mahjubah namanya. Cerita ini menarik karena dapat menjadi pelajaran bagi anak-anak, khususnya anak Sekolah Dasar. Cerita itu sarat dengan pesan moral yang penting bagi anak-anak. Patuh pada orang tua dan tidak membantah perintah orang tua adalah salah satu contoh pesan moral dimaksud. Pak Teuku telah melaksanakan pembelajaran mendidik anak dengan cerita. Konsep yang sederhana memang, tetapi memiliki makna yang dalam bagi anak-anak.
Saya berharap agar PR yang berupa refleksi yang ditulis oleh anak-anak dapat dikoreksi, dikomentari, dan dikembalikan pada anak-anak. Ini cukup penting bagi anak terutama untuk menunjukkan bahwa hasil pekerjaan mereka cukup mendapat penghargaan. Implikasinya adalah anak-anak akan terus termotivasi untuk menyelesaikan dengan baik setiap tugas yang diberikan. Hal ini tidak dilakukan oleh Pak Teuku karena beberapa anak menanyakan kepada saya, “Bu tugas kami kok belum dikembaliin.” Saya menjawab, “Sabar dulu, Bapak itu sedang mengoreksi satu per satu. Kalau sudah siap dikoreksi pasti dikembalikan.”
Materi cerita yang dipilih memang sesuai untuk siswa Sekolah Dasar. Ceritanya sederhana, bahasanya mudah dipahami, alur ceritanya mudah diikuti, dan yang tidak kalah pentingnya adalah cerita tersebut mengandung nilai-nilai yang penting bagi perkembangan anak.
            Dalam hal penggunaan papan tulis, beliau menulis seperti kuliah untuk mahasiswa. Pak Teuku menulis point-pointnya saja kemudian menjelaskan berdasarkan point-point itu. Para siswa tampaknya memang dapat memahami penjelasan Pak Teuku dengan baik. Namun, saya merasa belum tentu semua siswa sanggup mengikuti alur pikiran guru jika kita hanya menulis point-pointnya saja untuk setiap pembelajaran berlangsung. 
            Ketika Pak Teuku meminta siswa membacakan hasil kerja kelompoknya, terlihat para siswa malu-malu untuk tampil di depan. Namun, saya melihat beliau juga tidak mudah putus asa. Pak Teuku melakukan strategi lain, yaitu sedikit nada bujukan, pujian, suara diatur selembut mungkin, tatapan bersahabat, dan hasilnya siswa berani tampil di depan kelas.
            Sisi lain yang saya amati adalah Pak Teuku sering tangan di pinggang ketika mengajar. Gaya ini tentu saja kurang tepat dalam pembelajaran di Sekolah Dasar karena selain tampak kurang “familier” juga bisa membuat anak menjadi takut. Mungkin ini salah satu gaya Pak Teuku mengajar di fakultas dengan mahasiswa. Mahasiswa dan siswa Sekolah Dasar adalah dua sosok yang berbeda yang tentu saja membutuhkan perlakuan yang berbeda pula.   





















Komentar Pengamat II:  (Nina Aryani, S. Pd.)

            Saya seorang guru Sekolah Dasar jauh sebelumnya tidak pernah membayangkan bahwa seorang dosen merasa kesulitan mengajar di Sekolah Dasar. Memang mengajar di Sekolah Dasar tidaklah semudah yang dibayangkan oleh sebagian orang. Untuk dapat menjadi guru atau pengajar di Sekolah Dasar, kita harus memiliki pengetahuan yang memadai baik pengetahuan yang berhubungan dengan konsep ilmu maupun pengetahuan ilmu mendidik, termasuk ilmu psikologi di dalamnya. Selain itu, mengajar di Sekolah Dasar memerlukan kiat-kiat tersendiri untuk ‘merangkul’ dan mengayomi siswa. Konon lagi jika jumlah siswa per kelas mencapai 40 orang. Tentu ini merupakan kesulitan tersendiri bagi guru terutama dalam belajar berkelompok. Susahnya dalam pembentukan kelompok belajar. Jumlah siswa di SD Negeri 35 Kota Banda Aceh kebetulan tidak terlalu banyak.
            Sebenarnya jika saya mengamati Bapak Drs. Teuku Alamsyah, M. Pd. mengajar di SD pertama tanggal 24 Januari 2008 dan yang kedua 29 Januari 2008 sudah cukup bagus. Pak Teuku tampil di depan kelas sangat familier dan akrab menyapa siswa. Namun, sekali-sekali sapaannya dengan kata kamu, dan kalian.
Sapaan ini tentu saja kurang tepat dan kurang lazim digunakan di Sekolah Dasar. Sapaan yang lebih familier adalah anak-anak.
            Dalam hal ini Pak Teuku merasa masih ada yang mengganjal di hatinya karena masih ada siswa yang menurutnya kurang ekspresif dalam pembelajaran. Selain itu, tugas yang diberikan kepada siswa (PR) yang belum dikumpulkan tampaknya juga merupakan ‘beban’ tersendiri bagi Pak Teuku. Memang, pada waktu beliau menyusun narasi yang saya komentari ini, para siswa belum mengumpulkan PR. Alhamdulillah sekarang semua siswa menulis kesan mereka tentang “Mahjubah” dan sudah mereka kumpulkan dua hari kemudian. Saya berharap Pak Teuku sempat mengoreksi semua pekerjaan siswa dan mengembalikannya kepada mereka sebagai umpan balik. Ini penting agar siswa terus termotivasi karena hasil pekerjaaannya mendapat penghargaan yang layak.             
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Mata Pelajaran                        : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester                        : V/2
Materi Ajar                              : Cerita „Mahjubah si Pemalas“
Fokus Pembelajaran                : Mendengarkan--Berbicara--Menulis
Alokasi Waktu                        : 2 x 30 Menit (1 x pertemuan)

I. Standar Kompetensi          : Memahami cerita tentang suatu peristiwa dan
  cerita
  pendek anak yang disampaikan secara lisan  
                                                    
II. Kompetensi Dasar            : Mengidentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar,
                                                  dan amanat).
                                                  
III. Indikator
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, siswa diharapkan dapat:
1)  menyebutkan tokoh utama dan tokoh pembantu dalam cerita yang didengar,
2)  menuliskan tema, latar, dan amanat cerita,) menuliskan hal yang akan
     Dilakukan seandainya siswa sendiri sebagai tokoh utama cerita.

IV. Konsep yang harus dikuasai siswa
·         Konsep tokoh utama dan tokoh pembantu dalam cerita.
·         Konsep tema, latar, dan amanat cerita.

V.  Aspek yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran (whole language)
·         mendengarkan—berbicara—menulis —> dengan media cerita

VI. Pendekatan/Metode Pembelajaran:

Pendekatan                                        : PAKEM
Metode                                               : Kerja Kelompok
  Diskusi
  Penugasan










VII. Materi Pembelajaran

Mahjubah si Pemalas

             Tersebutlah seorang anak perempuan bernama Mahjubah. Mahjubah anak yang malas. Ibunya sangat kesal kepadanya. Begitu juga saudara-saudaranya karena ia malas bekerja dan tidak pernah mau membantu ibunya di rumah. Setiap hari ia tampak mengantuk.

“Kerjakanlah ini sebentar, Mahjubah!” kata ibunya.
“Aku tidak bisa, aku tidak tahu... sulit..“ Mahjubah memberi alasan. Kemudian ibunya menasehatinya agar Mahjubah jangan selalu malas. Nanti kalau besar mau jadi apa. Begitu selalu nasehat ibunya. Namun, Mahjubah tetap saja malas. Malas sepanjang hari. Kerjanya hanya bermain-main.
            Mahjubah selalu tidur pada waktu magrib dan bangun siang hari menjelang matahari terbit. Oleh karena itu, ia selalu terlambat berangkat ke sekolah. Ibu guru juga selalu mengingatkan Mahjubah agar jangan terlalu sering terlambat tanpa alasan yang jelas. Akan tetapi nasehat ibu guru hanya angin lalu bagi Mahjubah. Hari ini diingatkan, besok dia sudah lupa lagi. Yang penting baginya adalah tidur.
          Suatu hari Mahjubah tidur habis magrib dan bangun menjelang siang, sekitar pukul 10.00. Ia pun terlambat lagi ke sekolah. Besoknya, habis maghrib Mahjubah tidur lagi dan menjelang pukul 10.00 ia belum terbangun dan ibunya sudah beberapa kali membangunkannya, tetapi Mahjubah tetap berleha-leha dengan tidurnya. Akhirnya, hari itu Mahjubah tidak jadi berangkat ke sekolah karena ketika ia berpakaian, teman-temannya sudah pulang sekolah.
            Besoknya, hal yang sama terulang lagi. Hari sudah pukul 7.00. Mahjubah masih tertidur pulas. Ibunya datang membangunkannya. Mahjubah hanya menggeliat sebentar dan kemudian tidur lagi. Pukul 7.30 ibunya datang lagi membangunkannya. Mahjubah bangun dan langsung ke kamar mandi untuk mandi. Sesampai di kamar mandi, rasa malasnya timbul lagi. Mahjubah malas mandi. Ia kembali ke tempat tidur dan tidur dengan nyenyaknya. Ketika Mahjubah tidur, tiba-tiba ranjang tempat tidur Mahjubah bergerak ke luar rumah dengan Mahjubah tersebutnya. Ranjang itu berjalan sepanjang jalan menuju ke sekolah Mahjubah. Sepanjang jalan orang-orang melihat Mahjubah dibawa oleh ranjangnya dan mereka menunjuk-nunjuk sambil tertawa. Mahjubah hanya bisa tersenyum malu. Ranjang itu pun sampai di ruang kelas Mahjubah. Ranjang mengetuk pintu sambil berkata, “Assalamu’alaikum!” Ibu Guru dan anak-anak menjawab, “Wa’alaikum salam!” “Silakan masuk”, kata Bu Guru sambil membukakan pintu. Ranjang itu pun masuk kelas dengan Mahjubah tersebutnya. Ranjang berkata lagi, “Bu Guru dan anak-anak, saya datang mengantarkan Mahjubah karena ia selalu terlambat bangun.” “Di manakah tempat duduk Mahjubah?” Anak-anak menunjukkan tempat duduk Mahjubah. Ranjang menurunkan Mahjubah ke tempat duduknya di kelas itu dan ia pun pergi meninggalkan sekolah Mahjubah.
 Tinggallah Mahjubah di kelas itu dengan pakaian tidurnya. Semua temannya berseragam. Mahjubah merasa aneh sendiri. Hari itu, Mahjubah bersekolah dengan pakaian tidur. Mahjubah malu dan menyesal. Semua temannya menyorakinya. Namun, Ibu Guru tidak marah. Ibu Guru mengizinkan Mahjubah bersekolah dengan pakaian tidur untuk hari itu.  
            Sejak ranjangnya mengantarnya ke sekolah, Mahjubah kini mulai berubah. Ia tidak malas lagi. Ia mulai rajin membantu ibunya di rumah. Mahjubah rajin menyapu dan membantu mencuci piring. Mahjubah rajin pula mengerjakan PR. Ia tidak lagi bangun kesiangan sehingga sampai di sekolah tidak terlambat lagi. Teman-temannya pun suka pada Mahjubah yang telah banyak berubah. Mahjubah telah menjadi anak yang baik, rajin, dan penurut.
                                                           (Sumber: Mendidik dengan Cerita)
                                                           (Judul Asli: Al Qissah fi al-Tarbiyah)
                                                          (Pengarang: Abdul Aziz Abdul Majid)
 




VIII. Kegiatan Pembelajaran
    1. Kegiatan Awal
     Mengadakan tanya jawab seputar cerita yang pernah didengar oleh anak.
      Membentuk kelompok
  • Setiap siswa diminta memilih salah satu potongan kertas yang bertuliskan huruf abjad.
  • Setelah semua siswa mendapat potongan-potongan kertas, mereka diminta mencari teman yang mendapatkan abjad yang sama dan duduk satu kelompok.

     2. Kegiatan Inti
  • Mendengarkan pembacaan cerita Mahjubah si Pemalas
  • Mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat cerita
  • Menuliskan nama tokoh, tema, latar, dan amanat cerita
  • Presentasi
  • Sharing dan diskusi

     3. Kegiatan Penutup
  • Pemberian penguatan
  • Penyimpulan isi pembelajaran
  • Penentuan batas-batas tugas


IX. Evaluasi

1) Evaluasi Proses
    (Evaluasi ini dilaksanakan selama berlangsungnya proses pembelajaran,
     mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir pembe-
     lajaran)

Beberapa contoh pertanyaan dalam evaluasi proses:
1. “Anak-anak! Pernahkah kamu mendengarkan cerita?”
2.  “Siapa yang tidak pernah mendengarkan cerita?”
3.  “Apa yang paling berkesan dari cerita Mahjubah?”
4.  “Apa kesanmu terhadap Mahjubah?” 

2) Evaluasi Hasil
   (Evaluasi dilakukan dengan memberikan tugas terstruktur yang
    dikerjakan siswa sebagai PR)

   






Setelah mendengarkan dan membaca cerita “Mahjubah si Pemalas”, kerjakanlah tugas berikut.

1)      Tulislah kesanmu terhadap Mahjubah!
2)      Apakah yang akan kamu lakukan seandainya kamu menjadi Mahjubah?








































DAFTAR PUSTAKA


Alamsyah, Teuku. 2008. (Ed.) Modul Pengajaran Mikro Berbasis Case study. Hasil kerja sama ERA—AusAID dengan FKIP Unsyiah, Fatar IAIN Ar-Raniry, dan FKIP Universitas Al-Muslim (digunakan terbatas untuk kalangan sendiri).

Majid A, . Abdul Azis. 2002. Mendidik dengan Cerita. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ngermanto, Agus. 2005. Quantum Quotient. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.

Lie,  Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

feeds