Subliminal Messages_subminal_Personal Development Made Simple With Subliminal Messages

Subliminal MP3s Powerful Subliminal Messages

SELAMAT DATANG

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA KE SITUS KAMI, SEMOGA BERMANPAAT BAGI ANDA

Cari Blog Ini

PENELITIAN BAHASA

METODE PENELITIAN BAHASA DAN SASTRA DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN

METODE PENELITIAN BAHASA DAN SASTRA DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN


(Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia pada Proggram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah)


Oleh Teuku Alamsyah


FKIP UNSYIAH
2008
   

METODE PENELITIAN BAHASA DAN SASTRA DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN



BAGIAN I
GAMBARAN UMUM
PENELITIAN PEMBELAJARAN BAHASA

1.1 Tujuan Penelitian Pembelajaran Bahasa
            Penelitian merupakan art and science guna mencari jawaban terhadap permasalahan (Yoseph dan Yoseph dalam Syamsuddin dan Damaianti, 2006:2). Karena merupakan seni dan ilmiah, penelitian memberikan ruang-ruang yang akan mengakomodasikan adanya perbedaan tentang konsep penelitian.
Penelitian dapat pula diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan bertujuan mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan, baik discovery
atau invention. Discovery diartikan sebagai hasil penemuan yang sebetulnya memang sudah ada. Invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta.
   Secara umum tujuan kegiatan penelitian adalah menjelaskan dunia di sekitar kita melalui upaya yang sistematis (Kamil, 1995). Berdasar pada rumusan tersebut, tujuan penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa adalah upaya yang sistematis untuk menjelaskan, memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah-masalah pendidikan/pembelajaran bahasa.
Secara rinci tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa adalah sebagai berikut:
a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidi-
    kan/pembelajaran bahasa;
b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendi-
    dikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran
    bahasa;
c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau
    pikiran yang terkait dengan masalah bahasa.
d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa;
e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan/pembelajaran
    bahasa;
f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai pendidikan/pembelajaran bahasa.
Masalah pendidikan/pembelajaran bahasa mencakup masalah-masalah linnguistik atau kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Masalah linguistik yang menjadi fokus penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa di antaranya adalah fenomena-fenomena linguistik yang terkait dengan penutur bahasa dan penggunaan bahasa. Masalah lain yang berhubungan dengan penelitian/pembelajaran bahasa ialah bagaimana mengidentifikasi sifat-sifat bahasa serta model-model pengembangannya. Adapun masalah keterampilan berbahasa yang menjadi fokus penelitian bahasa mencakup keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan.

1.2 Tujuan Penelitian Membaca dan Menulis
Penelitian membaca didasari dan dipengaruhi oleh penelitian-penelitian psikologi. Pada awal abad ke-20 sampai tahun 1960-an, penelitian difokuskan pada bagian-bagian keterampilan membaca. Selanjutnya, penelitian membaca menghasilkan pemikiran yang sistematis tentang belajar membaca (Kamil, 1995).  Penelitian murni tentang membaca berupaya menjelaskan peristiwa-peristiwa membaca yang ada di sekitar kita dan berupaya untuk mengembangkan pengetahuan tentang membaca yang berpengaruh pada penemuan teori membaca. Selanjutnya, teori yang telah dirumuskan diharapkan dapat menjelaskan berbagai permasalahan membaca. Misalnya, dengan teori tersebut kita dapat menjawab apakah membaca itu, siapakah yang melakukan kegiatan membaca, serta kapan, bagaimana, mengapa, di mana peristiwa membaca terjadi.
Dari berbagai penelitian, teori-teori membaca semakin lengkap. Teori ini kemudian dikembangkan dalam penelitian membaca terapan untuk menjelaskan berbagai peristiwa membaca yang ada di sekitar kita dan memecahkan permasalahan membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Dari waktu ke waktu permasalahan membaca lebih banyak berupa isu tentang membaca terapan karena adanya kebutuhan dan keinginan berupa penerapan teori membaca dalam kegiatan pendidikan, pengajaran, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih banyak teori membaca yang tidak dapat memecahkan permasalahan pendidikan dan pengajaran membaca. Hal ini menyebabkan pentingnya pemberian informasi secara terus-menerus dari pendidik dan pengajar tentang permasalahan yang ditemukannya.
Hasil penelitian membaca seharusnya dapat diaplikasikan dalam setting yang tepat. Hasil penelitian yang baik dapat menjadi umpan balik bagi kerangka kerja atau model kegiatan yang sedang berlangsung. Ruang lingkup penelitian membaca terapan meliputi evaluasi program membaca individual atau kelompok, metode, teknik, atau strategi pembelajaran membaca, serta model-model pembelajaran membaca. Untuk menentukan variabel dan metodo1ogi dilakukan berdasarkan titik pandang permasalahan membaca serta teori membaca.
Penelitian membaca di satu sisi, sebenarnya, tidak terlampau berbeda dengan penelitian menulis. Permasalahan penelitian menulis diarahkan pada peningkatan pemahaman dan kemampuan menulis serta penjelasan proses menulis. Akhir-akhir ini penelitian menulis lebih holistik cakupannya (Shaughnessy, 1977). Selanjutnya, penelitian menulis berkembang ke arah pengkajian bagian bagian dan proses menulis (Hayes and Flower, 1980).
Baik penelitian bidang membaca maupun penelitian bidang menulis banyak dipengaruhi model dan teori membaca dan menulis. Ada tiga model yang mempengaruhi penelitian membaca dan menulis, yaitu:
a. model bottom-up atau model keterampilan, dengan tokoh penelitian membacanya
    adalah Cough, Alford, Holley-Wilcox (1972) dan tokoh penelitian menulis dengan
    model ini adalah Warriner dan Griffith (1977);
b. model top-down atau holistik, dengan tokoh penelitian membacanya adalah
   Goodman Smith (1971) dan tokoh penelitian menulis dengan model ini adalah
   Britton (1970);
c. model interaktif atau keseimbangan, dengan tokoh penelitian membacanya adalah
   Rummelhart (1977) dan tokoh penelitian menulis melalui model ini adalah Hayes
   dan Flower (1980).
Penelitian kontemporer dalam membaca dan menulis banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif, psikologi sosial, linguistik, antropologi, teori belajar, ilmu komputer, dan praktik pendidikan. Beberapa penelitian membaca dan menulis bertujuan memahami sifat-sifat dasar dan teori-teori proses membaca. Upaya-upaya itu termasuk menghasilkan model-model dan teori-teori proses membaca, misalnya, penelitian yang banyak dihasilkan oleh Singer & Ruddeil (1976), Carver (1977-1975).
Tujuan lain penelitian membaca dan menulis adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan membaca dan menulis, baik di dalam kelas maupun pada seting lainnya.

1.3 Tujuan Penelitian Berbicara dan Mendengarkan
Penelitian pendidikan berbicara dan mendengarkan pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah peningkatan kemampuan berbicara dan mendengarkan serta mengatasi masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan. Melalui penelitian eksperimen, kesulitan berbicara dan mendengarkan dapat dilakukan dengan mengkaji atau menelaah faktor-faktor sebab-akibat kesulitan berbicara dan mendengarkan. Salah satu contoh penelitiannya ialah tentang melihat pengaruh model pembelajaran berbicara untuk meningkatkan kemampuan berbicara; melihat pengaruh suatu terapi terhadap perilaku seseorang yang mengalami kesulitan berbicara. Pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah suatu model pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berbicara? Apakah terapi menyebabkan perubahan dalam perilaku berbicara? Adakah pengaruh keter- lambatan simakan terhadap kemampuan berbicara?
Ada empat karakterisik penelitian eksperimen dalam bidang berbicara dan mendengarkan, yaitu sebagai berikut.
(1) Eksperimen diawali dengan maksud, tujuan, pertanyaan, atau hipotesis tentang
      masalah atau perilaku khusus tentang berbicara atau mendengarkan.
(2) Eksperimen dapat mengontrol berbagai variabel yang diperkirakan menyebabkan
      perilaku khusus mengenai berbicara atau mendengarkan.
(3) Penelitian eksperimen dapat dirancang secara sistematis untuk memberikan
      perlakuan terhadap kelompok yang dijadikan subjek penelitian.
Penelitian lain dalam bidang berbicara dan mendengarkan bertujuan mendeskripsikan perbedaan kemampuan berbicara dan mendengarkan dua kelompok subjek penelitian, menggambarkan kecenderungan perkembangan kemampuan berbicara dan mendengarkan dan menggambarkan hubungan antara kemampuan mendengarkan dan berbicara.
Pada penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap kondisi-kondisi yang sedang diteliti. Ada empat tipe penelitian deskriptif dalam bidang ini, yaitu: (1) komparasi, (2) perkembangan, (3) hubungan, dan (4) survei.
Penelitian kesejarahan dapat pula dilakukan untuk membuat generalisasi mengenai hubungan di masa lain tentang faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam berbicara atau mendengarkan serta implikasinya pada kemampuan mendengarkan dan berbicara pada saat ini.
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merekam atau mencatat gambaran peristiwa masa lalu yang terkait dengan kemampuan seseorang dalam berbicara dan mendengarkan. Kemudian peneliti menganalisisnya serta mensintesiskannya ke dalam materi yang sedang diteliti, yaitu yang berkenaan dengan masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan.

1.4 Pentingnya Penelitian Pendidikan/Pengajaran Bahasa
Memecahkan suatu masalah merupakan tugas utama peneliti. Melalui penelitian seseorang dapat menunjukkan suatu bukti. Penelitian dapat mengurangi ketidakpastian. Dengan meneliti, seseorang dapat memperoleh hasil dari suatu tujuan yang ditetapkan.
Dalam pendidikan/pengajaran bahasa, ada beberapa alasan tentang penting-nya penelitian. Alasan tersebut dapat dilihat di antaranya melalui beberapa faktor sebagai berikut.

a. Pendidik
Untuk melaksanakan proses pendidikan yang berkualitas diperlukan keputusan-keputusan profesional. Keputusan tersebut sangat penting sebab akan berpengaruh dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat. Sebagai contoh, untuk meningkatkan motivasi membaca siswa, peneliti harus membuat keputusan tentang upaya yang tepat yang dapat dilakukan guru, orang tua siswa, dan lingkungan sekitar siswa. Dari hasil penelitiannya DeRita dan Weaver (dalam Syamsuddin dan Damaianti, 2006:7)  dapat memutuskan bahwa guru dapat memberikan strategi drama untuk meningkatkan motivasi membaca siswa. Di samping itu, orang tua hendaknya memberikan fasilitas memadai serta model yang mendukung peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar sangat efektif dalam memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi membaca siswa dengan didirikannya rumah baca atau sanggar baca.
Sebagian besar pendidik membuat keputusan berdasarkan pada beberapa sumber, misalnya pengalaman pribadi, pendapat ahli, pendapat umum, intuisi, dan akal sehatnya untuk memutuskan sesuatu. Berbagai sumber tersebut dapat saja digunakan dalam membuat keputusan, tetapi keputusan yang diambil berdasarkan penelitian ilmiah adalah yang paling tepat.

b. Masyarakat Umum
Lingkungan masyarakat, kelompok profesional, organisasi masyarakat, memerlukan studi khusus untuk menentukan kebijakan dalam kegiatannya. Sebagai contoh, kelompok direksi membutuhkan strategi berbicara yang tepat agar gagasannya dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh anggota yang dipimpinnya.

c. Penentu Kebijakan
Sebagian dari para penentu kebijakan lebih menyenangi penelitian yang berdasarkan pada informasi yang berselaras dengan masalah kebijakan tertentu. Sebagai contoh, penelitian dibutuhkan untuk menentukan standar kebahasaan dan penilaian kebahasaan. Valencia & Wixson (2000) menjelaskan berbagai kemungkinan penelitian terkait dengan hal tersebut, di antaranya perilaku berbahasa siswa, deskripsi prestasi berbahasa siswa, dan penelaahan pokok-pokok bahasan bahasa.
Bagaimana pentingnya penelitian pendidikan, khususnya pendidikan bahasa juga dapat dilihat dengan memeriksa fungsi-fungsi dan penggunaan jenis penelitian tersebut. Fungsi penelitian dapat dilihat dalam berbagai hal, di antaranya, yaitu fungsi penelitian dasar, fungsi terapan, dan fungsi evaluasi.

a. Fungsi penelitian dasar, yaitu untuk menguji teori dengan sedikit atau tanpa
    aplikasi hasil penelitian pada masalah praktis. Secara khusus berkenaan dengan
    mengetahui, menerangkan, dan memperkirakan fenomena alam dan sosial.
    Penelitian dapat dimulai dengan suatu teori, prinsip dasar, atau suatu generalisasi.
b. Fungsi terapan, yaitu untuk suatu bidang praktik dan berkenaan dengan aplikasi
    pengetahuan berdasarkan riset mengenai praktik tersebut.
c. Fungsi evaluasi, yaitu menilai kebaikan, kelayakan, atau kebermanfaatan suatu
    praktik. Praktik yang dievaluasi bisa berupa pelaksanaan program atau
    penggunaan hasil.

Informasi yang dapat dipercayalah yang diharapkan oleh masyarakat, yaitu informasi dari penelitian. Kegiatan penelitian yang dapat menggambarkan dan mengukur fenomena secara akurat merupakan sumber pengetahuan yang paling baik dibandingkan dengan kebenaran yang didapatkan secara non ilmiah.

1.5 Sifat Penelitian Pendidikan Bahasa
Karena kegiatan penelitian dipandang sebagai metode ilmiah, karakteristik atau sifat metodologi penelitian pendidikan bahasa sama dengan bidang-bidang lainnya. Menurut Tuckman (1982), Nunan (1992), McMillan & Schumacher (2003), Sukardi (2003) sifat metodologi penelitian pendidikan bahasa adalah sebagai berikut.

a. Bertujuan
Penelitian mutlak memiliki tujuan yang dapat memberikan arah dan target yang hendak dicapai. Tujuan ini dapat dipakai sebagai tolok ukur dan penilaian ketercapaian hasil penelitian.

b. Sistematis
Penelitian merupakan proses yang terstruktur sehingga diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk melaksanakannya. Pelaksanaan penelitian yang baik dilakukan secara terencana dan sistematis sejak tahap awal ditentukannya per-masalahan penelitian sampai dengan penarikan simpulan hasil penelitian. Sistematika permasalahan tersebut dituangkan ke dalam langkah-langkah proses penelitan.
Langkah-langkah dalam proses penelitian akan bergantung pada pendekat-an/metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Penelitian positivistik kuantitatif tentu akan berbeda sistematikanya dengan pendekatan naturalistik/kualitatif.

c. Objektif
Objektivitas mengacu kepada kualitas data yang dihasilkan oleh prosedur yang dapat mengontrol subjektivitas. Penelitian itu ada objek yang diteliti. Untuk dapat memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah, sebuah penelitian, benar-benar memerlukan data dan objek yang diteliti.. Karena objek tersebut dapat diindera manusia, semua pihak akan memberikan persepsi yang sama terhadap objek itu. Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan indera manusia dalam melakukan pengamatan, peneliti dapat menggunakan alat-alat bantu, seperti instrumen penelitian. Instrumen ini harus melalui uji validitas dan reliabilitasnya agar lebih akurat.

d. Logis
Penelitian dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, yaitu dengan urutan atau proses berpikir yang logis, sehingga validitas internalnya secara relatif dapat dipenuhi. Dengan demikian, simpulan dan generalisasi akan mudah dicek kembali oleh peneliti maupun oleh pihak lain.
Peneliti dapat melakukan penelitian melalui langkah-langkah logis, baik secara deduktif maupun induktif. Secara deduktif, peneliti melakukan penelitian dari suatu pernyataan umum ke simpulan khusus. Sebaliknya, penelitian dapat dilakukan secara induktif, yaitu bila peneliti mencapai suatu simpulan dengan mengamati kasus tertentu kemudian membentuk generalisasi. Simpulannya terbatas pada kasus yang diamati.

e. Empiris
Penelitian berkenaan dengan dunia empiris/nyata yang dapat diindera oleh pancaindera manusia yang bersifat objektif. Karakteristik sebuah penelitian dilihat melalui pendekatan yang empiris. Bagi peneliti, bukti adalah data, yaitu hasil-hasil nyata yang diperoleh melalui penafsiran dan penyimpulan dari suatu penelitian (McMillan & Schumacher, 2003).

f. Reduktif
Bila sebuah penelitian menggunakan prosedur yang analitis untuk menda-patkan data, sebenarnya peneliti telah mereduksi berbagai kebingungan tentang suatu fenomena atau masalah. Fenomena itu semula tidak dimengerti dan membingungkan. Akan tetapi, dengan penelitian yang tepat, fenomena atau kejadian itu dapat diketahui maknanya.
Proses reduksi sebenarnya merupakan bagian dari usaha menerjemahkan realitas menjadi kenyataan yang bersifat konseptual sehingga dapat digunakan untuk memahami hubungan kejadian yang satu dan kejadian lainnya.

g. Replicable dan Transmitable
Suatu penelitian kuantitatif pada umumnya dapat diulangi oleh peneliti lain untuk mengecek kebenarannya. Agar dapat diulang dengan mudah, laporan penelitian harus dibuat secara sistematis dan jelas, mulai dan kejelasan variabel, populasi dan sampel, prosedur mendapatkan sampel, instrumen, uji hipotesis, data yang dihasilkan, analisis hasil, sampai pada simpulan dan saran yang diajukan.
Selama itu, penelitian pendidikan bahasa harus bersifat transmitable, artinya penelitian harus mampu memecahkan masalah-masalah sehingga dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk berbagai keperluan (Sugiyono, 1994).


h. Penjelasan Singkat
Penelitian berusaha menjelaskan hubungan yang ada terhadap fenomena-fenomena tertentu yang dapat mengurangi realitas yang kompleks menjadi penjelasan yang sederhana (McMillan & Schumacher, 2003).

i. Simpulan Bersyarat
Hasil penelitian pendidikan, khususnya pendidikan bahasa merupakan sebuah simpulan yang bersyarat atau tidak mutlak. Kesalahpahaman yang sering muncul, yaitu bahwa hasil penelitian adalah mutlak dan simpulannya bersih dari kekeliruan.


1.6 Sikap llmiah Seorang Peneliti
Seorang peneliti seyogyanya memiliki sikap ilmiah. Berikut ini terdapat sembilan sikap ilmiah yang selayaknya dimiliki oleh seorang peneliti.

a. Sikap Ingin Tahu
Seseorang yang bersikap ilmiah itu selalu bertanya-tanya mengenai berbagai hal yang dihadapinya. Ia selalu tertarik pada hal-hal yang lama dan yang terutama ia selalu tertarik pada hal-hal yang baru. Hal-hal yang lama, walaupun biasanya telah dipertanyakan oleh para ahli sebelumnya mungkin saja masih memerlukan pemikiran lebih lanjut. Hal-hal yang baru menarik untuk dipelajari agar dapat, dicapai suatu pernyataan umum.

b. Sikap Kritis
Orang yang bersikap kritis itu tidak puas dengan jawaban tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal yang ada di belakang gejala, bahkan yang ada di belakang fakta yang dihadapinya. Sikap ingin tahu itu menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar dan karena motivasi itu, timbullah sikap kritis. Ia tidak akan lekas percaya. Karena memiliki sikap ingin tahu itulah, ia mencari informasi sebanyak mungkin sebelum ia menentukan pendapat untuk ditulis. Ia tidak gegabah mengucapkan atau menulis suatu pernyataan umum. Bagi seseorang yang bersikap kritis, hukum-hukum alam dan data empiris merupakan hal yang nomor satu. Ia dapat membedakan dengan baik antara hukum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan pendapat. Ia meneliti dalam upaya membandingkan fenomena-fenomena yang serupa.

e. Sikap Terbuka
Orang yang bersikap ilmiah itu selalu bersikap terbuka, yaitu selalu bersedia mendengarkan keterangan dan argumentasi orang lain walaupun berbeda dengan pendiriannya. Orang yang bersikap terbuka itu, tidak menutup mata terhadap kemungkinan yang lain. Ia tidak emotif dalam menanggapi kritik, sangkalan bahkan celaan terhadap pendapatnya.

d. Sikap Objektif
Bersikap objektif itu adalah menyisihkan perasaan pribadi (personal bias), atau mengesampingkan kecenderungan yang tidak beralasan, dengan kata lain dapat menyatakan apa adanya, dapat melihat secara nyata, dan aktual. Peneliti yang bersikap objektif tidak ‘dikuasai’ oleh pikiran-pikirannya sendiri atau perasaannya sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh prasangka.

e. Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain
Peneliti yang bersikap ilmiah memiliki jiwa yang cukup besar untuk menghargai karya orang lain tanpa merasa dirinya kecil. Peneliti yang congkak, dan merasa lebih tidak mungkin bersikap objektif, dan karya tulisnya akan bernada sombong, memerintah atau menggurui. Peneliti congkak itu biasanya bersikap meng-’aku’. Peneliti yang berjiwa ilmiah pantang mengaku karya orang lain sebagai karya orisinal yang berasal dan dirinya sendiri. Ia rela dan dengan senang hati mengakui dan mengucapkan terima kasih atas gagasan (ide) atau karya orang lain yang semata-mata ia kutip.



f. Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran
Peneliti yang bersikap ilmiah berani menyatakan kebenaran dan apabila perlu, Ia mempertahankannya. Kebenaran itu mungkin berupa fakta atas hasil penelitiannya sendiri atau hasil penelitian atau karya orang lain. Sikap itu menimbulkan kebulatan dalam cara berpikir dan menimbulkan konsistensi dalam penulisan yang merupakan syarat mutlak bagi karya tulis ilmiah.

g. Sikap Menjangkau ke Depan
Peneliti yang bersikap ilmiah mempunyai pandangan jauh ke depan. Perkembangan etika dan kebudayaan pada umumnya menarik perhatian bagi orang-orang yang bersikap ingin tahu, kritis, terbuka dan objektif. Oleh karena itu, ia berpandangan jauh ke depan. Peneliti ini bersifat ‘futuristik’, yaitu mampu melihat jauh ke depan. Apabila ia juga seorang peneliti yang baik, ia mampu membuat hipotesis dan membuktikannya, serta ia dapat menyusun teori. Bahkan jika ia seorang yang beraka budi yang cerdik (jenius), ia dapat sarnpai pada penjangkauan hukurn-hukum alam. Sikap menjangkau ke depan itu membuat seseorang yang bersikap ilmiah gernar membaca, menganggap meneliti itu sebagai suatu kebutuhan, dan ia menganggap menulis secara ilmiah itu sebagai kewajiban.

1.7 Tipologi Penelitian (Penelitian Bahasa)
enis-jenis penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan aspek tinjauan, yaitu berdasarkan tujuan, jenis data, metode, dan pemanfaatan. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.







1. Penelitian Berdasarkan Tujuan
Berdasarkan tujuannya, penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian dasar dan penelitian terapan. Sebenarnya sulit untuk membedakan antara penelitian dasar dan terapan karena keduanya terletak pada satu garis kontinum.

1) Penelitian Dasar
Suatu bentuk penelitian dikatakan penelitian dasar apabila peneliti niempunyai tujuan perluasan ilmu tanpa memikirkan pemanfaatan hasil penelitian tersebut untuk manusia maupun masyarakat. Dengan kata lain, penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori dan tidak langsung memperhatikan kegunaan praktis. Para ahli pendidikan menggunakan binatang untuk menyelidiki kehidupan, karakteristik, dan tingkah laku tertentu. Hasil penelitiannya mungkin belum dimanfaatkan langsung, mungkin sangat berguna untuk kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang.

2) Penelitian Terapan
Penelitian terapan dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga dapat diman faatkan untuk kepentingan manusia, baik secara individual maupun kelompok. Masalah penelitian terapan ditetapkan untuk mencari solusi yang dapat dimanfaatkan manusia. Oleh karena itu, hasil penelitiannya berupa jawaban nyata dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat yang dituju. Penelitian terapan dalam pendidikan, misalnya, berkaitan dengan peningkatan kualitas strategi, teknik, dan model pembelajaran, atau peningkatan minat dan motivasi belajar siswa, atau pengimplementasian kurikulum, atau peningkatan kualitas media pembelajaran.

2) Penelitian Berdasarkan Jenis Data
Jenis penelitian dapat dibedakan berdasarkan jenis datanya, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. (kedua jenis penelitian ini akan dibicarakan secara rinci pada bagian II modul ini)
3. Penelitian Berdasarkan Aspek Metode
Pengelompokan jenis penelitian dapat dilakukan berdasarkan metode. Jenis penelitian berdasarkan metode dapat dilihat dan pengelompokan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dibedakan menjadi penelitian eksperimental dan non eksperimental, sedangkan penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi penelitian interaktif dan non interaktif.
Lebih lanjut, penelitian eksperimental terdiri atas jenis penelitian eksperimen, eksperimen kuasi, dan subjek tunggal. Penelitian noneksperimen terdiri atas penelitian deskriptif, komparatif, korelasional, survei, dan ex post facto.
Penelitian kualitatif interaktif adalah suatu studi mendalam yang menggunakan teknik tatap muka (face to face) untuk mengumpulkan data dan orang-orang yang ada di dalam seting penelitian tersebut. Para peneliti interaktif menjelaskan konteks studi, mengilustrasikan perspektif-perspektif yang berbeda atas fenomena, dan merevisi pertanyaan-pertanyaan secara berkelanjutan dan pengalaman mereka di dalam bidang tersebut. Lima penelitian interaktif menurut McMillan & Scumacher, yaitu ethnografik, fenomenologik, studi kasus, grounded theory, dan studi kritis. Penelitian non interaktif terdiri atas analisis konsep dan analisis historis.

1) Penelitian Eksperimen
Penelitian eksperimen, menurut Sukardi (2003), merupakan metode inti dari penelitian yang ada. Ini disebabkan dalam metode ini peneliti melakukan penelitian dengan tiga persyaratan yang dipenuhi. Ketiga persyaratan tersebut, yaitu kegiatan mengontrol, memanipulasi, dan mengobservasi. Pada penelitian ini peneliti harus membagi subjek yang diteliti menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan perlakuan dan kelompok yang tidak memperoleh perlakuan. Pada penelitian eksperimen terdapat pengujian hipotesis untuk menentukan kondisi setelah dilaku kannya manipulasi, misalnya berupa suatu perlakuan.
Penelitian eksperimen dalam pendidikan bahasa bertujuan melihat pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain. Misalnya, (a) pengaruh model pembelajaran interaktif dalam membaca terhadap kemampuan membaca siswa, (b) pengaruh metode diskusi dalam pembelajaran berbiacara terhadap kemampuan berbicara siswa.
Pada penelitian eksperimen terdapat kelompok yang disebut kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang sengaja dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu. Pada contoh tersebut, kelompok yang dipengaruhi adalah kelompok yang diberi pembelajaran membaca melalui model interaktif dan kelompok yang diberi pembelajaran dengan metode diskusi. Di samping itu, ada pula kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak dipengaruhi oleh variabel itu. Pada contoh tersebut kelompok kontrol adalah siswa yang tidak dipengaruhi oleh model interaktif dalam pembelajaran membaca dan siswa yang tidak dipengaruhi oleh metode diskusi dalam pembelajaran berbicara. Adanya kelompok kontrol dimaksudkan sebagai pembanding sebingga tampak ada atau tidak adanya perubahan yang diakibat kan oleh pengaruh variabel yang diujicobakan.
Contoh lain penelitian eksperimen dalam bidang pendidikan bahasa di antaranya adalah pengaruh membaca bacaan yang luas terhadap peningkatan kemampuan membaca (Cohen and Maution, 1985). Contoh lainnya, pengaruh tanda baca terhadap pemahaman bacaan (Nunan, 1992).

2) Penelitian Eksperimen Kuasi
Penelitian eksperimen kuasi, atau eksperimen semu diartikan sebagai penelitian yang mendekati penelitian eksperimen. Menurut Sukardi (2003) jenis penelitian ini banyak digunakan dalam bidang pendidikan atau bidang lain yang subjek penelitiannya adalah manusia yang tidak dapat dimanipulasi dan dikontrol secara intensif. Oleh karena itu, dalam penelitian eksperimen kuasi, peneliti harus berhati-hati dalam menarik hubungan kausal yang terjadi. Pada penelitian eksperimen kuasi, peneliti tidak dapat mengontrol dan memanipulasi secara bebas dan intensif.
Penelitian pendidikan bahasa lebih banyak menggunakan eksperimen kuasi. Beberapa persyaratan yang harus ada dalam penelitian eksperimen sulit dipenuhi oleh penelitian pendidikan.
Pada desain eksperimen kuasi, baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen diberi tes awal dan tes akhir, tetapi sampel tidak diperoleh melalui teknik acak. Sementara itu, penelitian eksperimen, baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen diberi tes awal dan tes akhir dan sampel yang digunakan keduanya diperoleh melalui teknik acak yang mewakili populasi. (untuk memantapkan pemahaman Saudara tentang penelitian eksprimen dan penelitian eksperimen kuasi, silakan Saudara membaca/mempelajari Metode Penelitian Bahasa oleh Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti (2006:160—164).

3) Penelitian Subjek Tunggal
Studi dalam bidang pendidikan, menurut McMillan dan Schumacher (2003), banyak dipengaruhi oleh suatu pembiasaan, yaitu dengan mengamati kelompok-kelompok untuk mempelajari gejala individual. Alasan untuk mempelajari kelompok tersebut adalah bahwa perbedaan-perbedaan antarindividu bisa diamati dari skor rata-rata kelompok. Bagaimanapun, peneliti akan mengalami kesulitan mempelajari semua individu dalam suatu kelompok. Dengan demikian, peneliti boleh jadi tertarik bukan pada kelompok, melainkan pada satu atau sebagian kecil kelompok. Metode penelitian subjek tunggal atau single-subject memberikan alternatif dengan menspesifikasi metode yang bisa digunakan dengan hanya seorang atau hanya sebagian kecil subjek yang memungkinkan dilakukannya simpulan. Sama dengan penelitian eksperimen kuasi, dalam penelitian subjek tunggal mi terdapat manipulasi Iangsung, tetapi tidak dilakukan penarikan sampel rambang. Sebagai contoh, seorang peneliti tertarik untuk mencobakan efektivitas suatu program bagi siswa sekolah dasar yang tidak mau membaca. Ada sebagian kecil siswa yang tidak mau membaca di kelompoknya. Jadi, desain penelitian kelompok tidak tepat. Jika peneliti melihat suatu perubahan bertepatan dengan penerapan program tersebut, peneliti dapat membuat simpulan bahwa program baru tersebut dapat menyebabkan perubahan perilaku membaca.



4) Penelitian Deskriptif
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menjelaskan fenomena yang ada dengan meng gunakan angka-angka untuk mencandrakan karakteristik individu atau kelompok. Penelitian deskriptif menilai sifat dan kondisi-kondisi yang tampak. Tujuan penelitian deskriptif dibatasi untuk menggambarkan karakteristik sesuatu sebagaimana adanya. Contoh-contoh pertanyaan penelitian yang dapat dijawab melalui penelitian deskriptif, seperti berikut.
a)      Berapa besar nilai rata-rata kemampuan efektif membaca siswa sekolah dasar?
b)      Berapa banyak siswa yang datang ke perpustakaan setiap minggunya?
c)      Berapa banyak waktu yang digunakan siswa untuk kegiatan membaca setiap harinya?
d)     Berada pada tingkat berapa kemampuan membaca siswa?

5) Penelitian Komparatif
Di dalam penelitian komparatif, peneliti melakukan penyelidikan apakah terdapat perbedaan antara dua atau lebih kelompok terhadap fenomena yang sedang dipelajari (McMillan & Schumacher). Seperti dalam penelitian deskriptif, dalam penelitian mi tidak ada manipulasi atau kontrol langsung terhadap hal yang diteliti. Sebagai contoh, dengan menggunakan penelitian komparatif, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan jenis karangan antara siswa laki-laki dan perempuan; perbandingan tingkat pemahaman wacana antara anak yang membaca dengan menggu nakan musik dan anak yang membaca tanpa mendengarkan musik.

6) Penelitian Korelasional
Penelitian korelasional berhubungan dengan penilaian hubungan antara dua atau lebih fenomena. Jenis penelitian mi biasanya me libatkan ukuran statistik tingkatlderajat hubungan, disebut korelasi (McMillan & Schumacher). Hubungan yang diukur merupakan pernyataan tentang tingkat hubungan antarvariabel tersebut.
Ada dua jenis hubungan korelasi, yaitu korelasi postif dan korelasi negatif. Korelasi positif artinya bahwa nilai tinggi variabel pada variabel pertama berhubungan dengan nilai yang tinggi pada variabel kedua. Korelasi negatif artinya bahwa nilai tinggi variabel pertama berhubungan dengan nilai rendah variabel kedua.
Sebagai contoh penelitian korelasional mi terdapat pada penelitian tentang hubungan tingkat keterbacaan wacana dengan pemahaman wacana; hubungan antara penggunaan bahasa ibu dan prestasi bahasa Indonesia; hubungan antara pola asuh orang tua dan motjvasi membaca.

7) Penelitian Survei
Penelitian survei dalam pendidikan bahasa adalah upaya untuk mengamati fenomena bahasa dengan melibatkan populasi yang besar maupun yang kecil. Akan tetapi, data yang dianalisis adalah data dan sampel yang diambil dan populasi.
Penelitian survei dalam pendidikan bahasa pada umumnya dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dan pengamatan yang mendalam. Walaupun metode survei dalam pene1itian pendidikan bahasa mi tidak memerlukan kelompok kontrol, namun generalisasi yang dihasilkan bisa akurat bila digunakan sampel yang representatif.
Pada penelitian survei, peneliti menentukan sumber data sesuai dengan tujuan penelitian, membuat kuesioner, atau melaku kan wawancara untuk mengumpulkan data. Survei sering digunakan dalam penelitian pendidikan, misalnya untuk menjelaskan sikap, keyakinan, pendapat. Contoh penelitian survei dalam pendidikan bahasa adalah bagaimana gambaran sikap dan motif siswa terhadap pembelajaran bahasa kedua. Bagaimana gambaran hubungan antara kemampuan berbicara dan proses mengingat? Bagaimana pengaruh usia siswa terhadap kemampuan berbahasa? Bagaimana pengaruh situasi, interaksi, dan keadaan siswa terhadap pembelajaran bahasa kedua?




8) Penelitian Ex Post Facto
Penelitian ex post facto digunakan untuk menyelidiki hubungañ sebab akibat yang mungkin antarvariabel yang tidak bisa dimanipulasi oleh peneliti. Penyelidik mendesain penelitian untuk membandingkan dua atau lebih sampel yang memungkinkan dipelajari setelah perilaku atau kondisi tertentu terjadi. Peneliti tidak memanipulasi apa yang terjadi pada subjek, tetapi peneliti memfokuskan pada apa yang telah terjadi secara berbeda pada kelompok subjek.
Sebagai contoh, penelitian tentang pengaruh kebiasaan membaca orang tua terhadap minat membaca siswa. Salah satu variabel tersebut, yaitu kebiasaan membaca orang tua tidak bisa dimanipulasi, sehingga peneliti melihat pengaruhnya setelah kondisi tersebut terjadi.

9) Penelitian Etnografik
Ethnografik adalah penelitian untuk menjelaskan dan menafsirkan budaya atau kelompok atau sistem sosial. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna “budaya”, namun penelitian berfokus pada pola-pola tindakan bahasa, ritual, dan pola-pola hidup yang dipelajari. Sebagai sebuah proses, ethnografik melibatkan kerja lapangan yang membutuhkan banyak waktu, melakukan pengamatan secara khusus dan wawancara sederhana dengan para peserta, dan mengumpulkan berbagai artefak.
Pada penelitian ini perlu dilakukan kegiatan dokumenter melalui observasi tentang hidup keduniawian sehari-hari.
Sudut pandang informan dapat dicatat secara saksama dan dibuat melalui kutipan-kutipan yang diedit secara teliti. Dengan demikian, peneliti dapat menunjukkan bahwa apa yang diuraikan bukan pandangan peneliti melainkan penjelasan otentik dan merupakan keterangan dan para informan yang cukup  repreresentatif. Produk akhir berupa uraian komprehensif, yaitu uraian berbentuk deskripsi naratif yang bersifat holistik dan interpretatif melalui penyatu-paduan semua aspek kehidupan informan serta pengilustrasian kompleksitasnya.
Ada beberapa variasi penelitian ethnografik. Karena banyaknya ahli antropologi melakukan observasi dalam penelitian ethnografi budaya, pada umumnya peneliti pendidikan melakukan observasi dalam studi mikro-ethnografik (Erickson, 1973; LeCompte & Preissle, 1993; Wolcott, 1995).

10) Penelitian Fenomenologi
Fenomenologi adalah filsafat ilmu dari metode penelitian. Penelitian fenomenologi menjelaskan makna pengertian tentang pengalaman hidup. Tujuan  fenomenologi adalah untuk mentransformasikan pengalaman hidup ke dalam deskrispi esensi dan kehidupan tersebut. Dengan demikian, pengaruh hasil penelitian ini dapat menjadi dokumen yang bersifat reflektif terhadap sesuatu yang lebih bermakna.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara panjang antara informan dan peneliti yang bertujuan memahami perspektif para informan tersebut atas fenomena kehidupan sehari harinya (Moustakas, 1944; Seidman, 1988).
Penelitian ini memungkinkan pembaca merasa bahwa mereka paham secara utuh tentang konsep yang berkaitan dengan pengalaman khusus seseorang atau sekelompok orang, misalnya kemampuan berbahasa pada para penderita disleksia, kemampuan berbahasa para penderita authisme, kemampuan membaca para penyandang tunagrahita, tunawicara, dan tunarungu.

11) Studi Kasus
Studi kasus dalam pendidikan bahasa adalah bentuk penelitian pendidikan bahasa yang mendalam tentang suatu aspek pendidikan bahasa, termasuk lingkungan pendidikan bahasa dan manusia yang terlihat dalam pendidikan bahasa di dalamnya (Nunan, 1992). Oleh karena beberapa klasifikasi “kasus” sebagai objek studi (Stake, 1955) dan “kasus” lainnya dianggap sebagai suatu metodologi (Yin, 1994) maka penjelasan studi kasus merupakan studi yang mendetail yang dapat menggunakan banyak sumber data untuk menjelaskan sebuah variabel atau hal yang diteliti. Kasus bisa dipilih karena keunikannya atau kasus bisa digunakan untuk mengilustrasikan suatu isu (Stake, 1995).
Fokus penelitian dapat berupa satu entitas (penelitian di suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi tempat/multi-site). Penelitian mi mendeskripsikan kasus, analisis tema atau isu, dan interpretasi atau pembuktian penelitian terhadap kasus. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat dilakukan terhadap seorang individu, sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang terkait dengan pendidikan bahasa.
Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat difokuskan pada perkembangan sesuatu di bidang pendidikan bahasa. Misalnya, pengaruh didirikannya pondok baca di daerah pedesaan; studi longitudinal tentang perkembangan kemampuan linguistik anak.

12) Grounded Theory
Istilah grounded theory sering digunakan untuk merujuk pada pendekatan yang membentuk gagasan teoretis yang dimulai dan data. Grounded theory merupakan prosedur penting untuk menghasilkan teori substantif. Penelitian ini menggunakan metode komparatif serta analisis data dengan teknik induktif dan veri- fikatif. Dengan kata lain, teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Oleh karena itu, teori ditemukan, disusun, dan dibuktikan melalui pengumpulan data yang sistematis serta melalui analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Pengumpulan data, analisis, dan teori saling terkait dalam hubungan timbal balik. Peneliti tidak memulai penyelidikannya dari suatu teori tertentu lalu membuktikannya, tetapi dan suatu kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidang tersebut (Strauss & Corbin). Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara dan melakukan beberapa kunjungan ke lapangan. Pengumpulan data awal dilakukan untuk memperoleh berbagai macam perspektif atas fenomena; kemudian peneliti menggunakan perbandingan untuk menganalisis setiap kategori dan informasi yang diperoleh. Data dikumpulkan hingga informasi terpenuhi. Dalam hal ini peneliti memilih fenornena-fenomena inti, mengembangkan permasalahan sesuai dengan alur penelitian, dan mengemukakan kondisi sosial, kondisi historis, dan konsekuensi yang mempengaruhi fenomena.
Grounded theory yang bisa diakui tersusun secara baik ialah yang bisa diterapkan terhadap suatu fenomena dengan memenuhi empat kriteria, yaitu kesesuaian, pemahaman, generalitas, dan kontrol. Jika suatu teori sangat sesuai dengan kenyataan sehari-hari dalam kajian yang nyata dan diatur dengan cermat dan beragam data, berarti teori ini sangat relevan dengan kajian nyata tersebut. Karena melukiskan kenyataan, teori ini harus dapat dipahami dan masuk akal, bukan hanya untuk menggambarkan orang-orang yang diteliti, melainkan juga orang-orang yang ada dalam bidang yang nyata.

13) Studi Kritis
Penelitian mi diambil dari teori kritis, teori feminis, teori ras, dan perspektif pascamodern yang mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan adalah subjektif (McMillan & Schumacher). Para peneliti ini menganggap masyarakat sebagai individu yang pada hakikatnya terstruktur oleh kelas dan status, serta oleh ras, suku, gender, dan orientasi seksual. Para peneliti kritis mencurigai sebagian metode penelitian yang mengabaikan hubungan kekuatan yang implisit dalam teknik-teknik pengumpulan data dan pembatasan pemahaman atas fenomena (Marshall & Rossman, 1999). Teori kritis cenderung berfokus pada permasalahan masyarakat dan lembaga sosial. Studi kritis banyak pula dipakai dalam penelitian kualitatif ditempatkan melalui analisis naratif dalam action research, ethnografik kritis, tindakan partisipatori, dan riset feminis. Penelitian kritis bisa dilakukan dengan suatu komitmen untuk menyingkap manipulasi dan tekanan sosial yang bersifat menekan.

14) Penelitian Non interaktif
Metode penelitian non interaktif, yang disebut penelitian analitis, menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui analisis dokumen. Peneliti bisa mengidentifikasi, mempelaj an, dan selanjutnya mensintesis data untuk memberi pemahaman konsep atau peristiwa lampau yang mungkin tidak bisa diobservasi secara langsung.
Dokumen-dokumen ilmiah adalah sumber utama. Peneliti bisa menafsirkan fakta-fakta dan dokumen untuk memberikan pen jelasan-penjelasan tentang masa lampau dan mengklarifikasi makna/pengertian masalah pendidikan bahasa yang mendasari isu-isu masa kini. Penelitan ini meliputi analisis konsep dan analisis historis. Analisis konsep adalah untuk menjelaskan perbedaan pengertian dan menguraikan penggunaan suatu konsep yang tepat. Adapun analisis historis dilakukan dengan melibatkan pengumpulan secara sistematis dan mengkritisi suatu dokumen yang menjelaskan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
 

BAGIAN II
PENELITIAN KUALITATIF
DAN PENELITIAN KUANTITATIF

2.1 Penelitian Kualitatif
2.1.1 Hakikat Penelitian Kualitatif
Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Staruss dan Corbin, 2007:4). Di sisi lain, penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Selain itu,  Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Williams (1995) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian dengan pengumpulan data pada suatu latar alamiah, menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Definisi ini memberi gambaran bahwa penelitian kualitatif mengutamakan latar alamiah, metode alamiah, dan dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah (dalam Moleong, 2005:5).
            Penelitian kualitatif dapat pula didefinisikan sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Konsep kualitatif yang terakhir ini cenderung mempertentangkan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif.
            Untuk mempertegas hakikat penelitian kualitatif, berikut ini dikutip pendapat Sugiyono (2005:1--3) sebagai berikut.
1) Metode penelitian kualitatif muncul karena perubahan paradigma dalam meman-
    dang suatu realitas/fenomena/gejala. Dalam paradigma ini, realitas sosial dipan-
    dang sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna.
    Paradigma yang demikian disebut paradigma post positivisme. Paradigma sebe-
    lumnya disebut paradigma positivisme. Paradigma ini memandang gejala lebih
    bersifat tunggal, statis, dan konkret. Paradigma postpositivisme mengembangkan
    metode penelitian kualitatif dan positivisme mengembangkan metode kuantitatif.
2) Metode penelitian kualitatif ini sering disebut metode penelitian naturalistik kare-
    na penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut
    juga sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak digu-
    nakan untuk penelitian antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif kare-
    na data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.
3) Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk me-
    neliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di sini peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah, atau natural setting, sehingga metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Objek yang alamiah adalah objek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan setelah keluar dari objek relatif tidak berubah. Pada metode eksperimen, peneliti dalam  melakukan penelitian tempatnya di laboratorium yang merupakan kondisi buatan, dan peneliti melakukan manipulasi terhadap variabel. Dengan demikian, sering terjadi bias antara hasil penelitian laboratorium dengan keadaan di luar laboratorium atau keadaan sesungguhnya.
4) Pada penelitian kuantitatif, peneliti menggunakan instrumen untuk mengumpul-
    kan data atau mengukur status variabel yang diteliti, sedangkan dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna.
5) Kriteria data dalam penelitian kualitatif adalah data yang pasti. Data yang pasti adalah data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekadar terlihat, terucap, tetapi data yang mengandung makna di balik yang terlihat dan terucap tersebut. Contoh data yang pasti misalnya data orang menangis. Orang yang menangis itu harus dipastikan, apakah menangis karena susah atau justru menangis karena mendapat kebahagiaan. Untuk mendapatkan data yang pasti diperlukan berbagai sumber data dan berbagai teknik pengumpulan data. Dua sumber data yang memberikan data  yang berbeda, data tersebut belum pasti. Pengumpulan data dengan observasi dan wawancara yang menghasilkan data berbeda, data tersebut juga belum pasti. Bila data yang diperoleh masih diragukan dan belum memperoleh kepastian, penelitian masih harus terus dilanjutkan. Jadi, pengumpulan data dengan teknik triangulasi adalah pengumpulan data yang menggunakan berbagai sumber dan berbagai teknik pengumpulan data secara simultan, sehingga dapat diperoleh data yang pasti.
6) Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi
    dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh
    karena itu, analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Jadi, dalam penelitian kualitatif analisis data dilakukan untuk membangun hipotesis, sedangkan dalam penelitian kuantitatif analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis. “The main strength of this technique is in hypothesis generation and not testing” (David Kline, 1985). Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak peneliti menyusun proposal, melaksanakan pengumpulan data di lapangan sampai peneliti mendapatkan seluruh data.
7) Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data
    yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti, yang merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatif dinamakan transferability, artinya hasil penelitian tersebut dapat digunakan di tempat lain, manakala tempat tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda.
2.1.2  Penerapan Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif dapat dilakukan dalam praktik pendidikan dengan bebe-rapa cara sebagai berikut.
1) Memperbaiki atau mengembangkan pola hubungan praktisi pendidikan (guru,
    spesialis pengajaran, konselor) dengan kliennya (murid) yang melakukan kontak
    langsung agar menjadi lebih efektif.
2) Menjadi bagian dari upaya pendidikan dan peningkatan kualitas guru atau calon
    guru.
3) Memperlancar seorang peneliti menjadi pengamat yang lebih tajam terhadap kese-
    luruhan lingkungan sekolah.
4) Membantu mengembangkan proses belajar-mengajar sehingga guru dapat melaku-
     kan upaya dengan lebih sadar.
5) Memasukkan kegiatan penelitian dengan pendekatan kualitatif pada kurikulum
    sekolah, sehingga para siswa dapat ikut serta melakukan wawancara dan studi
    observasi. Siswa terlibat dalam kegiatan yang sesungguhnya.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk menerapkan penelitian kualitatif, meliputi (a) kepekaan teoretis dan sosial, (b) kemampuan menjaga jarak analisis, sekaligus memanfaatkan pengalaman terdahulu dan pengetahuan teoretis untuk me- mahami apa yang terlihat (c) kemampuan pengamatan yang cermat, dan (d) kecakapan berinteraksi (Strauss & Corbin, 2003). Dengan keterampilan tersebut, peneliti dapat (a) meninjau kembali dan menganalisis situasi secara kritis, (b) mengenali dan menghindari bias, (c) mendapatkan data yang sahih dan andal, dan (d)
berpikir secara abstrak.
Bagaimanakah penerapan pendekatan kualitatif untuk memperbaiki kinerja guru? Guru dapat bertindak sebagai peneliti sebagai bagian dari peranannya. Meskipun mereka tidak pernah membuat catatan lapangan secara rinci, mereka bisa lebih sistematis dalam menuliskan pengalaman-pengalamannya. Menulis catatan di dalam buku catatan yang khusus membantu mereka dalam mengumpulkan bahan bersama-sama. Meskipun mereka tidak dapat mewawancarai orang seperti seorang peneliti, mereka dapat mengubah percakapan yang dilakukan seperti biasanya menjadi acara pengumpulan informasi yang lebih produktif. Menyertakan perspektif kualitatif dalam kegiatan yang rutin berarti dapat membuat para praktisi menjadi sadar diri dan berpikir aktif seperti yang dilakukan seorang peneliti kualitatif.
Menyertakan perspektif ini bisa berarti bahwa para guru mulai sadar dan dapat menganggap dirinya kurang semestinya dalam menjalankan tugasnya dan tidak lebih sebagai suatu objek studi. Guru menjadi lebih reflektif. Bila Anda seorang guru, amati diri Anda sendiri pada waktu Anda berlaku sebagai seorang pendidik. Di mana Anda berjalan? Di mana Anda berdiri? Bagaimana Anda mengatur jadwal kegiatan? Bersama siapa Anda dalam mengisi sebagian besar waktu Anda? Siapa orang yang Anda hindari? Apa pandangan Anda tentang pekerjaan Anda? Bagaimana Anda menghadapi hari-hari yang Anda paling takut menghadapinya? Bagian mana yang Anda perhatikan dari hari yang Anda harap-harapkan? Kesesuaian apa yang Anda lakukan dengan apa yang ingin Anda lakukan? Hambatan apa menurut Anda yang menghadang antara apa yang ada dan apa yang Anda inginkan? Adakah orang-orang tertentu yang terhadapnya Anda merasa tidak efektif? Apa pikiran Anda tentang mereka? Apa menurut Anda yang mereka pikirkan? Apa keuntungan bagi guru yang menggunakan ancangan kualitatif? Karena guru yang bertindak selaku peneliti, ia tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi juga mengamati dirinya sendiri, lalu mampu memperoleh pandangan yang lebih luas atas apa yang sedang terjadi.
Sebagai contoh, berikut diuraikan sebuah ilustrasi. Seorang ibu guru diminta berperan serta dalam suatu penelitian kualitatif sebagai pengamat terhadap seorang anak di dalam kelasnya. Anak yang diobservasi adalah anak lelaki yang “biasanya sulit ditangani”. Ia mengamati anak itu dengan saksama dan mencatat di buku catatan hariannya apa-apa yang didengar dan dilihatnya. Pada akhir penelitian, hubungan mereka “sangat membaik”. Ia menjadi “menyukai” anak tadi, dan ía tersadar dengan hal-hal lain yang sebelumnya tidak dirasakannya atau disadarinya. Perasaan ini akan terus berkembang selama proses penelitian berlangsung. Ia mulai memahami bagaimana dunia “terlihat” oleh muridnya itu dan bagaimana murid itu memahami apa yang dilihatnya. Ibu guru tadi bisa melihat di mana cara berpikir mereka bertemu dan di mana berlawanan.
Contoh tersebut mencerminkan satu masalah khusus yang dihadapi seorang guru, bahkan itu merupakan sebuah gambaran yang baik tentang penggunaan ancangan kualitatif untuk mem perbaiki keefektivan mengajar. Berikut contoh langkah-langkah yang dapat ditempuh, bila anda seorang guru yang melaksanakan penelitian kualitatif.

Langkah 1
Ambil satu masalah sebagai suatu fokus penelitian yang hendak dicari solusinya, misalnya, kebiasaan berbahasa yang buruk yang ingin anda ubah, kualitas berkomunikasi yang tidak baik, atau suatu pola belajar berbahasa yang ingin anda pelihara, anda kembangkan, anda perbaiki.

Langkah 2
Buat catatan rinci yang dapat Anda lakukan mengenai isu itu; merekam hasil observasi dan dialog bilamana mungkin. Usahakan seluruh kegiatan dan pengamatan terfokus pada interaksi yang terjadi di sekitar isu yang relevan dengan permasalahan. Rekam apa yang dikerjakan dan dikatakan siswa kepada Anda dan orang lain. Tulis bila Anda akan memperlihatkan perilaku yang ingin Anda ubah dan kepada siapa Anda memperlihatkan atau melaksanakan perilaku itu. Bagaimana reaksi para siswa terhadap kegiatan Anda? Catat dengan rinci kejadian-kejadian di kelas bila suatu pola yang ingin Anda pelihara, kembangkan, atau perbaiki mulai berjalan. Apakah Anda melihat ada siswa yang memberikan penguatan tingkah laku ini?

Langkah 3
Apabila Anda telah selesai dengan pencatatan atas kejadian kejadian jangka panjang, selanjutnya periksa data-data Anda itu untuk melihat adanya perubahan, perbaikan, pengembangan, atau kemunculan pola-pola atau kecenderungan tertentu. Buat pertanyaan tentang permasalahan yang mencuat. Mengapa saya bereaksi seperti itu ketika siswa meminta informasi? Apa yang terjadi di kelas pada saat saya memperagakan suatu tingkah laku itu? Atau pertanyaan lainnya.

Langkah 4
Pergunakan data itu untuk membuat putusan jika perlu. Kadang-kadang proses penelitian itu berdampak pada perbaikan keadaan. Misalnya, selama proses penelitian berlangsung, guru mungkin menjadi bersikap lebih menghargai murid sehingga dapat meredakan ketegangan hubungannya dengan murid itu. Akan tetapi, dalam kejadian lain, Anda barangkali perlu menggunakan pengetahuan untuk membuat rencana. Barangkali Anda perlu berbagi pengetahuan yang telah Anda peroleh tentang hubungan Anda dengan seorang siswa, secara pribadi, dengan siswa itu. Barangkali Anda dapat menyelenggarakan pertemuan kelas dengan murid-murid, atau berbicara dengan guru-guru lain, atau minta nasihat khusus kepada seorang konsultan. Pengambilan keputusan itu sesuatu yang khusus, berlaku bagi keadaan-keadaan secara individual.


2.1.3 Penelitian Kualitatif dari Perspektif Guru dan Pendidikan Guru
Penelitian kualitatif mempunyai syarat bagi para peneliti agar dapat mengembangkan empati kepada orang-orang yang ditelitinya dan melakukan usaha terpadu untuk memahami permasalahan dari berbagai sudut pandang. Tujuannya adalah untuk memahami dunia subjek yang diteliti dan untuk menentukan bagaimana dan dengan kriteria apa subjek menentukan ketercapaian sesuatu. Penelitian ini urgen bagi program pendidikan guru karena menawarkan kesempatan kepada calon guru atau guru untuk mengeksplorasi lingkungan sekolah yang kompleks. Bersamaan dengan itu, guru akan menjadi lebih sadar diri akan nilai-nilainya sendiri dan bagaimana nilai ini mempengaruhi sikapnya, misalnya terhadap para murid, kepala sekolah, dan teman sejawat.
Para guru atau calon guru yang melakukan sebuah penelitian kualitatif diharapkan tidak sampai tidak menyadari bahwa nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan mereka itu dibawa ke dalam kelas. Meskipun nilai itu mempengaruhi pekerjaan setiap orang, dan dapat memperkokoh mengajar dan kemampuan interaktif, namun kesadaran nilai-nilai ini membantu melihat bagaimana hal itu membentuk sikap kita terhadap siswa (dan para pendidik lain). Guru menjadi lebih sadar, bagaimana ia ikut menciptakan apa yang terjadi padanya.
Sebagai bagian dan pendidikan, mahasiswa keguruan, atau calon guru mendapatkan kesempatan berada di sekolah. Penelitian kualitatif diterapkan untuk membantu mereka memilah pandang an-pandangan yang saling bertentangan mengenai persekolahan. Dapat pula, penelitian ini mendorong mereka mempertanyakan atau membuktikan asumsi-asumsi mereka yang dibuatnya tentang persekolahan.
Guru dapat diminta untuk melakukan riset kecil-kecilan di dalam kelas atau sekolah tempat mereka bekerja. Kami menyusun “catatan lapangan” mereka dengan memberikan serangkai pertanyaan “penelitian” yang umum sifatnya. Seperangkat “pertanyaan pengamatan” ini mencakup pertanyaan-pertanyaan seperti berikut.
Bagaimana guru mengorganisasikan atau mengelo kelas ketika melaksanakan pembelajaran bahasa? Apa yang dimaksud dengan guru yang berkualitas dalam melaksanakan proses pernbelaj arannya? Bagaimana gambaran tindakannya dalam melaksanakan proses pembelajarannya itu? Bagaimana suasana di dalam kelas tempat penelitian?Bagaimana perasaan guru-guru di sekolah tentang pekerjaan mereka?Bagaimana siswa yang dinilai paling baik di kelas yang diamati? Bagaimana masalah pendidikan dianalisis oleh staf sekolah? (Masalah ini bisa masalah disiplin, pengelolaan waktu, administrasi, dan semacamnya). Bagaimana mencari pemecahan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut disusun untuk mengamati permasalahan di seputar mata ajaran tertentu, misalnya masalah pembelajaran bahasa. Guru dapat menyusun pertanyaan di sekitar fokus-fokus lain. Kami menemukan bahwa menekankan konsep “perspektif” sebagai cara memandang kehidupan sekolah membuat mahasiswa calon guru mempertanyakan asumsi-asumsi yang mereka punyai mengenai peranan guru. Beberapa dari mereka yang potensial ini, umpamanya, berasumsi bahwa murid akan menyusahkan guru karena mereka berasal dari keluarga miskin atau berpenghasilan rendah atau bahwa masalah “budaya” telah menyebabkan murid-murid berperilaku menyimpang di kelas. Melalui observasi, sebagai mahasiswa keguruan mereka dapat mengikuti tingkah laku yang terjadi di sekolah atau kelas yang teramati.
Pandangan kualitatif menuntut bahwa orang yang perspektifnya akan dipahami mahasiswa peneliti itu, berbicara atas namanya sendiri. Itu berarti bahwa mahasiswa harus mendengarkan kata kata orang yang diteliti itu secara langsung tanpa menyertakan teori-teori pendidikan. Kerja lapangan yang sistematis memungkinkan mahasiswa sebagai peneliti mulai melihat bagaimana kekuasaan didistribusi, juga macam-macam tekanan yang dihadapi guru, tingkat dukungan yang diberikan seorang administrator, atau cara bagaimana murid mengartikan kehidupan sekolah. Ditekankan bahwa mahasiswa dibantu menarik kembali pengertian mereka tentang kehidupan sekolah yang sebelumnya, yaitu menganggap bahwa sudah semestinya begitu agar pertama mereka mengkajinya, dan kedua melihat sekolah melalui kacamata orang lain.
Sebagaimana ditunjukkan dua buah contoh berikut, penggunaan ancangan kualitatif memungkinkan mahasiswa praktik keguruan memperluas konsepsinya tentang “kebenaran” pendidikan. Seorang peneliti melakukan observasi di sebuah sekolah dasar.
Pada suatu hari ia berada di sebuah kelas yang sedang melakukan kegiatan membaca. Beberapa hal yang dicatatnya seperti berikut.
1) Para siswa ingin menentukan sendiri jenis bacaan yang akan dibacanya.
2) Guru tidak meminta siswa menjawab pertanyaan yang diajukannya.
3) Siswa menceritakan isi bacaan secara lisan dari sudut pandangnya sendiri.
4) Siswa dapat menceritakan bacaan dengan gerakan-gerakan sesuai dengan apa
    yang dipahaminya.
5) Guru menyerahkan penilaian keberhasilan membaca kepada siswa.
Berdasarkan hasil pengamatannya, peneliti melihat kegiatan pembelajaran membaca yang tidak biasa. Karena merasa pikirannya terganggu menghadapi apa yang dilihat sebagai suatu strategi pembelajaran yang tidak lazim, ia memutuskan mewawancarai guru itu mengenai proses pembelajaran membaca tersebut. Guru memberikan penjelasan kepada peneliti melalui alasan-alasannya seperti berikut.

1) Dengan diikutsertakannya siswa memilih bacaan, siswa memperoleh kebutuhan
     fisiologis yang sesuai berupa kenikmatan estetis dalam mendapatkan pengetahuan
     Di samping itu, siswa dilatih mandiri dalam menentukan kebutuhan yang bersum-
     ber dari dirinya.
2) Guru tidak memberikan pertanyaan kepada siswa, tetapi siswa diberi kebebasan
     mengutarakan apa yang dipahaminya dan dikuasainya secara verbal. Ini akan
     mengakibatkan siswa dapat menyatakan sesuatu dengan baik dan berhasil,
     sehingga mereka mendapatkan kepercayaan diri siswa yang dilatih melalui
     kegiatan membuat uraian sendiri akan meningkat rasa percaya dirinya.
3) Guru membiarkan siswa memperagakan “kejadian-kejadian” yang ditemuinya
    dalam bacaan akan menyebabkan siswa terlibat dalam aktivitas pengalaman
    langsung. Pengetahuan diperoleh dari hasil penemuan melalui pengalamannya.
    Siswa tidak dihadapkan pada tugas-tugas hafalan. Ini akan meningkatkan motivasi
    siswa.
4) Penilaian diri  atau pemantauan terhadap keberhasilan diri, menyebabkan siswa
    memasuki suasana aman. Siswa merasakan keberhasilan dan menerima kesalahan
    sebagai hal yang wajar dalam belajar. Pemantauan diri ini terhadap hasil pemaha-
    haman bacaan dapat melatih tanggung jawab kepada dirinya sendiri dalam me-
    lakukan perbaikan-perbaikan serta menafsirkan keinginan-keinginannya dalam
    membaca.
Proses belajar-mengajar membaca tersebut dapat membuat siswa lebih termotivasi dalam melakukan kegiatan membaca. Peneliti itu menjadi mengerti perspektif guru tersebut. Bila pada mulanya ía hanya melihat keadaan kacau, ia kemudian bisa melihat dengan jelas adanya metode dalam pembelajaran itu. Melalui pengamatannya, ia dapat meninjau kembali pandangannya mengenai apa yang sedang terjadi. Dengan kata lain, persepsinya mengenai realitas berubah. Namun, memahami perspektif seorang guru itu baru satu tujuan; kadang-kadang mahasiswa belajar bahwa mengandalkan deskripsinya sendiri dapat memperjelas apa yang tidak dapat dijelaskan bila hanya menerima dengan penerimaan pandangan guru begitu saja. Pada contoh ini, seorang pengamat menerima komentar guru bahwa anak-anak di kelas satu “gampang sekali beralih perhatian karena rentang perhatiannya yang pendek”. Catatan mahasiswa mula-mula kelihatan mempercayai apa yang dikatakan dalam penilaian ini, “Saya mengamati hal berikut selama pelajaran berjalan.” Salah satu anak tidak memperhatikan apa yang dikatakan guru. Apa yang dikerjakan anak adalah melihat keluar jendela atau melamun. Akan tetapi, di bagian belakang catatannya mahasiswa itu berkomentar tentang satu aspek lain kehidupan di kelas. Beberapa anak di kelas belum dapat berbahasa Indonesia. Mereka tidak mengerti apa yang dikatakan guru. Peneliti itu kemudian mencatat bagaimana perspektifnya berubah mengenai apa yang terjadi di dalam kelas tersebut.
Contoh-contoh tersebut dapat menjelaskan suatu cara bagaimana pandangan kualitatif dapat diterapkan di dalam program pendidikan. Metode kualitatif membantu para pendidik menjadi lebih peka terhadap faktor-faktor yang mempe-ngaruhi tugas mereka dan interaksinya dengan orang lain. Bila digunakan secara pedagogis, pendekatan kualitatif dapat disatukan dalam pendidikan, lokakarya, atau pelatihan informal.

2.1.4 Rancangan Penelitian Kualitatif
Rancangan penelitian merupakan rencana dan struktur penyelidikan yang disusun sedemikian rupa, sehingga peneliti akan dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitiannya (Kerlinger, 1986). Rencana itu merupakan suatu skema menyeluruh yang mencakup program penelitian. Struktur merupakan kerangka, pengaturan, atau konfigurasi unsur-unsur struktur yang terhubungkan dengan cara-cara yang jelas serta tertentu.
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Syamsuddin AR dan Damaianti, 2006) rancangan penelitian kualitatif dilakukan sebelum ke lapangan, ketika peneliti berada pada tahap mempersiapkan diri. Lebih lanjut, kedua pakar tersebut mengingatkan bahwa rancangan penelitian kualitatif berbeda dari metodologi penelitian lainnya. Misalnya, dalam riset kuantitatif, sebelumnya peneliti telah menetapkan secara apriori mengenai tujuan-tujuan penelitian serta prosedur yang akan dilakukannya. Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, termasuk ketika telah terjun ke lapangan. Sekalipun peneliti kualitatif harus mengikuti metodologi tertentu, tetapi pokok-pokok pendekatan tetap dapat berubah pada waktu penelitian sedang dilakukan.
Apa yang membedakan rancangan kualitatif dengan semua jenis rancangan metode yang lainnya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh peneliti kualitatif disusun dalam bentuk yang umum (general terms). Kebanyakan para peneliti kualitatif berusaha memasuki lapangan penelitian tanpa membawa keranjang hipotesis tertentu atau prateori-prateori yang telah dikonsep terlebih dahulu. Memasuki lapangan dengan seperangkat hipotesis tertentu sama artinya dengan memaksakan prakonsepsi dan mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman konsep (misconceptions) dengan situasi yang senyatanya.
Ketika peneliti kualitatif memasuki lapangan dengan membawa rancangan yang disusun sedemikian rupa, ada kemungkinan tidak sesuai dengan situasi senyatanya. Pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya mungkin tidak mempunyai relevansi dengan situasi objek yang diteliti. Menghadapi hal yang demikian, peneliti kualitatif harus mulai membuat formulasi rancangan yang baru (new research design) lagi atau taktik baru lagi dan mulai menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berbeda; dalam berbagai hal, dan meninggalkan situasi yang satu ke situasi yang lain (Geer dalam Hammond, 1964; Bogdan & Taylor, 1975).
Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa rancangan penelitian kualitatif/naturalistik pada awalnya belum dapat direncanakan secara rinci, lengkap, dan pasti. Oleh sebab itu, belum ada langkah-langkah yang jelas, yang dapat diikuti sejak awal sampai akhir sebagaimana penelitian kuantitatif. Bahkan masalah yang akan diteliti pun belum dapat dirumuskan dengan jelas dan tegas. Dengan demikian, rancangan penelitian bersifat “emergent, evolving, developing”, sehingga rancangan yang dibuat harus siap diubah-ubah secara berulang-ulang sesuai dengan latar alami yang ada (sehingga disebut juga penelitian naturalistik). Rumusan masalah juga perlu adaptasi, dan dirumuskan kembali berulang kali, peneliti tidak perlu terikat pada rumusan semula dan dapat mengubahnya kembali jika diperoleh informasi atau data baru.




2.1.5 Unsur-unsur Desain Penelitian Kualitatif
Berbeda dengan penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, rancangan tidak ditentukan sebelumnya. Namun demikian, fungsi rancangan tetap sama, yaitu digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang bagaimana melangkah maju (Bogdan & Bikien, 1982). Berkaitan dengan rancangannya, Lincoln dan Guba (1985) mengidentifikasi unsur-unsur atau elemen-elemen desain naturalistik sebagai berikut.
1) Penentuan fokus penelitian, yaitu dengan memilih fokus atau pokok permasalahan
    yang dipilih untuk diteliti, dan bagaimana memfokuskannya. Masalah mula-mula
    sangat umum, kemudian mendapatkan fokus yang ditujukan pada hal-hal yang
    lebih spesifik. Akan tetapi, fokus itu masih dapat berubah. Fokus sangat penting
    sebab tidak ada penelitian tanpa fokus, sedangkan sifat fokus bergantung dan jenis
    penelitian yang dilaksanakan. Misalnya, untuk penelitian fokusnya adalah
    masalah, untuk evaluasi fokusnya adalah evaluan, dan untuk analisis kebijakan
    fokusnya adalah pilihan kebijakan.
2) Penyesuaian paradigma dengan fokus penelitian. Dalam penelitian kualitatif
    pertanyaan-pertanyaan berikut akan timbul dalam penyusunan penelitian, di
    antaranya seperti berikut. (a) Apakah fenomena terwakili oleh konstruksi yang
    kompleks (a multiciplicity of complex social constructions)? (b) Sampai di mana
    tingkatan interaksi peneliti dengan fenomena dan sampai di mana tingkat
    ketidakpastian interaksi yang dihadapkan kepada peneliti? (c) Sampai di mana
    tingkat kebergantungan konteks? (d) Apakah beralasan (reasonable) untuk
    menyatakan hubungan kausal yang konvensional pada unsur-unsur fenomena yang
    diamati ataukah hubungan antar gejala itu bersifat saling bergantung? (e) Sampai
    dimana kemungkinan nilai-nilai merupakan hal yang krusial pada hasil (context
    and time bound atau context and time free generalization)?
3) Penyesuaian paradigma penelitian dengan teori substantif yang dipilih. Kesesuaian
    acuan teori yang digunakan (kalau ada) dengan sifat sosial yang diacu sangat
    penting dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian kualitatif apabila temuan-
    temuan dapat memunculkan grounded theory maka penelitian tersebut dapat
    dilanjutkan. Teori yang muncul itu hendaknya ajeg dengan paradigma metode  
     yang menghasilkan teori tersebut.
4) Penentuan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan. Pada penelitian
    kualitatif tidak ada pengertian populasi. Teknik sampling juga berbeda tafsirannya
    dengan metode lainnya. Pada penelitian kualitatif, sampling merupakan pilihan
    peneliti tentang aspek apa, dan peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada
    saat dan situasi tertentu. Oleh karena itu, penentuan data dilakukan terus-menerus
    sepanjang penelitian. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup sebanyak
    mungkin informasi yang bersifat holistik kontekstual. Dengan kata lain, sampling
    tidak harus representatif terhadap populasi, tetapi representatif terhadap informasi
    yang holistik.
    Dalam merencanakan sampling dipertimbangkan langkah langkah berikut: (a)
    menyiapkan identifikasi unsur-unsur awal; (b) menyiapkan munculnya sample
    secara teratur dan purposif; (c) menyiapkan penghalusan atau pemfokusan sample
    secara terus-menerus; dan (d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan,
    rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satu pun
    langkah yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya
    penelitian di lapangan.
5) Penentuan fase-fase penelitian secara berurutan. Pada penelitian kualitatif
    ditentukan tahap-tahap penelitian, dan bagaimana prosedurnya dan tahap satu ke
    tahap yang lain dalam proses yang berbentuk siklus. Tahapan-tahapan tersebut
    memiliki tiga fase pokok: Pertama, tahap orientasi dengan mendapatkan informasi
    tentang apa yang penting untuk ditemukan, atau orientasi dan peninjauan. Kedua,
    tahap eksplorasi dengan menemukan sesuatu secara eksploratif terfokus, dan
    ketiga, mengecek temuan menurut prosedur yang tepat dan memperoleh laporan
    akhir.
6) Penentuan instrumentasi. Instrumen penelitian bukan bersifat eksternal, melainkan
    bersifat internal, yaitu peneliti sendiri sebagai instrumen (human instrument).
    Bentuk-bentuk lain instrumen boleh dipergunakan jika ada. Untuk semua
    penelitian naturalistik, evaluasi atau analisis kebijakan sangat bermanfaat apabila
    instrumen manusia diorganisasikan dalam satu tim.

7) Perencanaan pengumpulan data. Instrumen manusia beroperasi dalam situasi yang
    tidak ditentukan. Peneliti memasuki lapangan yang terbuka, sehingga tidak
    mengetahui apa yang tidak diketahui (I don’t know that I don’t know). Untuk itu
    peneliti haruslah mengandalkan teknik-teknik kualitatif, seperti wawancara,
    observasi, pengukuran, dokumen, rekaman, dan indikasi nonverbal. Dalam
    rekaman, data terbagi pada dua dimensi, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas
    mengacu pada kemampuan peneliti untuk menunjukkan bukti secara nyata dari
    lapangan (fidelitas tinggi, misalnya rekaman video atau audio, sedangkan fidelitas
    kurang, misalnya catatan lapangan). Adapun dimensi struktur meliputi
    terstrukturnya wawancara dan observasi.
8) Perencanaan prosedur analisis. Analisis data dilakukan sepanjang penelitian dan
   dilakukan secara terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian. Pengamatan
   tidak mungkin tanpa analisis dan tafsiran untuk mengetahui apa maknanya.
   Analisis dilakukan untuk mengembangkan dugaan-dugaan dan teori berdasarkan
   data yang diperoleh. Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan
   secara sistematis dari transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan, sadap
   rekam, dan bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis data
   melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data, serta
   pencarian pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuan apa yang
   dilaporkan. Karena banyaknya model analisis yang diajukan oleh para pakar,
   peneliti hendaknya memilih salah satu model yang dianjurkan oleh para pakar
   tersebut, misalnya model analisis Glaser-Strauss, Bogdan-Biklen, Lincoln-Guba,
   Miles-Huberman, Patton, atau Spradley.
9) Perencanaan logistik. Perencanaan perlengkapan atau logistik dalam penelitian
    kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: (a) mempertimbang-
    kan kebutuhan logistik awal secara keseluruhan sebelum pelaksanaan proyek;
    (b) logistik untuk kunjungan lapangan sebelum berada di lapangan; (c) logistik
    untuk saat di lapangan; (d) logistik untuk kegiatan-kegiatan setelah kunjungan
    lapangan; dan (e) perencanaan logistik untuk mengakhiri dan menutup kegiatan.
    Perencanaan logistik mi biasanya dilakukan pada penelitian penelitian proyek atau
    institusional, sedangkan dalam penelitian akademik jarang sekali dilakukan.
10) Rencana untuk pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam
       penelitian kualitatif meliputi empat teknik, yaitu (a) kredibilitas (credibility),
       yaitu kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang
      dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua
      pembaca secara kritis dari responden sebagai informan. Untuk hasil penelitian
      yang kredibel, terdapat tujuh teknik yang diajukan yaitu: perpanjangan kehadiran
      peneliti/pengamat (prolonged engagement), pengamatan terus-menerus
     (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer
     debriefing), analisis kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas
     kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota
     (member checking). (b) Transferabilitas (transferability), kriteria ini digunakan
     untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks
     atau setting tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang
     sama. (c) Dependabilitas (dependability), kriteria mi dapat digunakan untuk
     menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek:
     apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam meng-
     konseptualisasikan rencana penelitiannya, dalam pengumpulan data, dan dalam
     penginterpretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit
     dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview aktivitas
     peneliti. (d) konfirmabilitas (confirmability), kriteria untuk menilai kebermutuan
     hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dan proses
     yang ditempuh oleh peneliti,  konfirmabilitas digunakan untuk menilai kualitas
     hasil penelitian sendiri, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi
     serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail.







2.1.6  Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif 
2.1.6.1 Instrumen Penelitian
            Pada penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (human instrument). Dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian adalah kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Oleh karena itu, kedua hal tersebut harus mendapat,  dengan baik oleh seorang peneliti kualitatif.  Kualitas instrumen berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen, sedangkan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data (Sugiyono, 2005).
            Mengingat instrumen utama penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
            Peneliti kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, melakukan analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan data atas temuan penelitian. Peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan instrumen kunci (key instrument).
            Nasution (dalam Sugiyono, 2005:60) mengemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa pada awalnya segala sesuatunya belum jelas dan belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian. Dalam keadaan yang demikian hanya peneliti sendiri sebagai instrumen utama yang dapat mencapainya. Akan tetapi setelah masalahnya jelas dan pasti barulah dapat dikembangkan suatu instrumen.
            Instrumen yang dikembangkan selanjutnya tersebut diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour question, tahap focused and selection, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.
            Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif dipandang tepat karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari ling-
    kungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.
2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan
    dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes berupa
     tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami dengan pe-
    ngetahuan semata. Untuk memahaminya, kita perlu sering merasakannya dan me-
    nyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat
     menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah
     pengamatan dan untuk mengetes hipotesis seketika.
6) Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan
    data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakannya segera sebagai ba-
     likan untuk memperoleh penegasan, perubahan, dan perbaikan.
7) Manusia sebagai instrumen dapat memberikan perhatian terhadap berbagai macam
     respon/fenomena yang teramati. Respon yang lain daripada yang lain bahkan
     yang bertentangan dapat dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan pe-
     haman mengenai aspek yang diteliti.

  

2.1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participant observation), wawancara mendalam (in depth interview), dan dokumentasi.

1. Pengumpulan Data dengan Observasi
Marshall (1995) menyatakan bahwa “through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior” Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Faisal (1990) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi (participant observation), observasi yang secara terang-terangan dan tersamar (overt observation dan covert observation), dan observasi yang tak berstruktur (unstructured observation). Selanjutnya, Spradley (dalam Stainback, 1988) membagi observasi berpartisipasi menjadi empat, yaitu pasive participation, moderate participation, active participation, dan complete participation.

1) Observasi partisipatif.
            Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dan setiap perilaku yang tampak.
Stainback (1988) menyatakan “In participant observation, the researcher observes what people do, listent to what they say, and participates in their activities”. Pada observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi ini dapat digolongkan menjadi empat, yaitu partisipasi pasif, partisipasi moderat, observasi yang terus terang dan tersamar, dan observasi yang lengkap.
a) Partisipasi pasif (passive participation): means the research is present at the scene
     of action but does not interact or participate. Jadi, dalam hal ini peneliti datang di
     tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam aktivitas
     orang yang diobservasi.
b) Partisipasi moderat (moderate participation): means that the researcher maintains
     a balance between being insider and being outsider. Dalam observasi ini terdapat
     keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dan orang luar. Peneliti dalam
     mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan, tetapi
     tidak semuanya.
c)  Partisipasi aktif (active partisipation): means that the researcher generally does
     what others in the setting do. Dalam observasi ini, peneliti ikut melakukan apa
     yang dilakukan oleh narasumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap.
d) Partisipasi lengkap (compliete participation): means the researcher is a natural
    participant. This is the highest level of involvement. Saat melakukan
    pengumpulan data, peneliti sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan
    sumber data. Jadi, suasananya sudah natural, peneliti tidak terlihat melakukan
    penelitian. Hal ini merupakan keterlibatan peneliti yang tertinggi terhadap
    aktivitas kehidupan yang diteliti.

2) Observasi terus terang atau tersamar
Dalam hal ini peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa ia sedang melakukan penelitian. Jadi, mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang akivivitas peneliti. Akan tetapi, dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi. Hal ini untuk menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan dengan terus terang,  peneliti tidak akan diizinkan untuk melakukan observasi.

3) Observasi tak berstruktur
Observasi dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak berstruktur, karena fokus penelitian belum jelas. Fokus observasi akan berkembang selama kegiatan observasi berlangsung. Kalau masalah penelitian sudah jelas seperti dalam penelitian kuantitatif, observasi dapat dilakukan secara berstruktur dengan menggunakan pedoman observasi.
Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan, peneliti tidak menggunakan instrumen yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan.

Manfaat Observasi
Patton (dalam Nasution), menyatakan bahwa manfaat observasi adalah sebagai berikut.
1) Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahaini konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh.
2) Dengan observasi, akan diperoleh pengalaman langsung sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif. Jadi, tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
3) Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.
4) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.
5) Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
6) Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

Objek observasi
            Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yang diobservasi menurut Spradley dinamakan situasi sosial, yang terdiri atas tiga komponen, yaitu place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas).
1)  Place atau tempat di mana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung.
2)  Actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran tertentu.
3) Activity atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung.
Tiga elemen utama tersebut dapat diperluas sehingga apa yang dapat kita amati adalah:
1) space: the physical place: ruang dalam aspek fisiknya,
2) Actor: the people involve: semua orang yang terlibat dalam situasi sosial,
3) Activity: a set of related acts people do: seperangkat kegiatan yang dilakukan
    orang,
4) Object: the physical things that are present: benda-benda yang terdapat di tempat
    itu,
5) Act: single actions that people do: perbuatan atau tindakan-tindakan tertentu,
6) Event: a set of related activities that people carry out: rangkaian aktivitas yang dikerjakan orang-orang,
7) Time: the sequencing that takes place over time: urutan kegiatan,
8) Goal: the things people are trying to accomplish: tujuan yang ingin dicapai orang-
    orang
9) Feeling: the emotion felt and expressed: emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh orang-orang.

Dalam melakukan pengamatan, kita dapat menentukan pola sendiri. berdasarkan pola tersebut, misalnya jika kita akan melakukan pengamatan terhadap situasi sosial bidang pendidikan, tempatnya adalah lingkungan fisik sekolah,  aktornya adalah para guru, kepala sekolah, murid dan orang-orang yang ada di lingkungan dengan segala karakteristiknya, aktivitasnya adalah kegiatan belajar mengajar, pelaksanaan manajemen sekolah, komunikasi sekolah dengan lingkungan, dan lain-lain.
Tahapan observasi
Menurut Spradley (1980), tahapan observasi ada tiga, yaitu 1) observasi deskriptif, 2) observasi terfokus, dan 3) observasi terseleksi.

(1) Observasi deskriptif
Observasi deskriptif dilakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini, peneliti belum membawa masalah yang akan diteliti sehingga peneliti melakukan penjelajah umum dan menyeluruh, melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua data direkam. Oleh karena itu, hasil dan observasi ini disimpulkan dalam keadaan yang belum tertata. Observasi tahap ini sering disebut sebagai grand tour observation dan peneliti menghasilkan kesimpulan pertama. Bila dilihat dan segi analisis, peneliti malakukan analisis domain sehingga mampu mendeskripsikan semua yang ditemui.

(2) Observasi terfokus
Pada tahap ini peneliti sudah melakukan mini tour observation, yaitu suatu observasi yang telah dipersempit untuk difokuskan pada aspek tertentu. Observasi ini juga dinamakan observasi terfokus karena pada tahap ini peneliti melakukan analisis taksonomi sehingga dapat menemukan fokus.

(3) Observasi terseleksi
Pada tahap observasi ini, peneliti telah menguraikan fokus yang ditemukan sehingga datanya lebih rinci. Dengan melakukan analisis komponensial terhadap fokus, pada tahap ini peneliti telah menemukan karakteristik, kontras-kontras/perbedaan dan kesamaan antarkategori, serta menemukan hubungan antara satu kategori dan kategori yang lain. Pada tahap ini diharapkan peneliti telah dapat menemukan pemahaman yang mendalam atau hipotesis. Menurut Spradley, observasi terseleksi ini masih dinamakan tour observation.

2. Pengumpulan Data dengan Wawancara/Interview
Esterberg (2002) mendefiniskan interview sebagai berikut. “A meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic”. Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.
Stainback (1988) mengemukakan bahwa  interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi, dengan wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.
Selanjutnya, Esterberg (2002) menyatakan bahwa  Interviewing is at the ‘heart of social research. If you look through almost any sociological journal, you will find that much social research is based on interview, either standardized or more in-dept. Interview merupakan hatinya penelitian sosial. Bila Anda lihat jurnal dalam ilmu sosial, akan Anda temui semua penelitian sosial didasarkan pada interview, baik yang standar maupun yang dalam.
Dalam penelitian kualitatif sering digabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga melakukan interview kepada orang-orang ada di dalamnya.




1) Macam-macam Interview /Wawancara
Esterberg (2002) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur.
(1) Wawancara terstruktur (Structured interview)
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu, dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini, setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dengan wawancara terstruktur ini pula, pengumpulan data dapat menggunakan beberapa pewawancara sebagai pengumpul data. Supaya setiap pewawancara mempunyai keterampilan yang sama, diperlukan training kepada calon pewawancara.
Dalam melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur, dan material lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar. Peneliti bidang pembangunan, misalnya, bila akan melakukan penelitian untuk mengetahui respon masyarakat terhadap berbagai pembangunan yang telah diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu membawa foto-foto atau brosur tentang berbagai jenis pembangunan yang telah dilakukan, misalnya pembangunan gedung sekolah, bendungan untuk pengairan sawah-sawah, pembangunan pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.

(2) Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview)
Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori indept interview. Pelaksanaan wawancara ini lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan  secara lebih terbuka. Pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.
(3) Wawancara tak berstruktur (unstructured interview)
Wawancara tidak terstruktur, adalah wawancara yang bebas. Dalam wawancara ini, peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Wawancara tidak terstruktur atau terbuka, sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau malahan untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti. Pada penelitian pendahuluan, peneliti berusaha mendapatkan informasi awal tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada objek sehingga peneliti dapat menentukan secara pasti permasalahan atau variabel apa yang harus diteliti. Untuk mendapatkan gambaran permasalahan yang lebih Iengkap, peneliti perlu melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang mewakili berbagai tingkatan yang ada dalam objek, misalnya, akan melakukan penelitian tentang iklim kerja perusahaan, dapat dilakukan wawancara dengan pekerja tingkat bawah, supervisor, dan manajer.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang responden, peneliti dapat juga menggunakan wawancara tidak terstruktur. Misalnya, seseorang yang dicurigai sebagai penjahat, peneliti akan melakukan wawancara tidak terstruktur secara mendalam sampai diperoleh keterangan bahwa orang tersebut penjahat atau bukan.
Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceriterakan oleh responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dan responden tersebut, peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada isi tujuan. Dalam melakukan wawancara peneliti dapat menggunakan cara “berputar-putar baru menukik” artinya pada awal wawancara, yang dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan, dan bila sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang menjadi tujuan, segera ditanyakan.
            Wawancara baik yang dilakukan dengan face to face maupun yang menggunakan pesawat telepon, akan selalu terjadi kontak pribadi. Oleh karena itu, pewawancara perlu memahami situasi dan kondisi sehingga dapat memilih waktu yang tepat kapan dan di mana harus melakukan wawancara. Pada saat responden sedang sibuk bekerja, sedang mempunyai masalah berat, sedang mulai istirahat, sedang tidak sehat, atau sedang marah, peniliti harus hati-hati dalam melakukan wawancara. Kalau dipaksakan wawancara dalam kondisi seperti itu, akan dihasilkan data yang tidak valid dan akurat.
            Bila responden yang akan diwawancarai telah ditentukan orangnya, sebaiknya sebelum melakukan wawancara, pewawancara meminta waktu terlebih dulu, kapan dan di mana bisa melakukan wawancara. Dengan cara ini, suasana wawancara akan lebih baik sehingga data yang diperoleh akan lebih lengkap dan valid.
            Informasi atau data yang diperoleh dan wawancara sering bias. Bias adalah
menyimpang dari yang seharusnya sehingga dapat dinyatakan data tersebut subjektif
dan tidak akurat. Kebiasaan data ini akan tergantung pada pewawancara, yang
diwawancarai (responden) dan situasi dan kondisi pada saat wawancara. Pewawan-
cara yang tidak dalam posisi netral, misalnya, ada maksud tertentu, diberi sponsor
akan memberikan interpretasi data yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
responden. Responden akan memberi data yang bias bila responden tidak dapat
menangkap dengan jelas apa yang ditanyakan peneliti atau pewawancara. Oleh
karena itu, peneliti jangan memberi pertanyaan yang bias. Selanjutnya, situasi dan
kondisi seperti yang juga telah dikemukakan tersebut, sangat mempengaruhi proses
wawancara, yang pada akhirya juga akan mempengaruhi validitas data.
      Hasil wawancara segera harus dicatat setelah selesai melakukan wawancara agar tidak lupa bahkan hilang. Karena wawancara dilakukan secara terbuka dan tidak berstruktur, peneliti perlu membuat rangkuman yang lebih sistematis terhadap hasil wawancara dan berbagai sumber data, perlu dicatat mana data yang dianggap penting, yang tidak penting, data yang sama dikelompokkan. Hubungan satu data dengan data yang lain perlu dikonstruksikan sehingga menghasilkan pola dan makna tertentu. Data yang masih diragukan perlu ditanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.

3. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen
            Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dan seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dan penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dalam hal dokumen Bogdan menyatakan “In most tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly to refer to any first person narrative produced by an individual which describes his or her own actions, experience and belief.
Hasil penelitian dan observasi atau wawancara, akan lebih kredibel, dapat dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Publish autobiographies provide a readiley available source of data for the discerning qualitative research (Bogdan). Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Photographs provide strikingly descriptive data, are often used to understant the subjective and is product are frequeltly analyzed inductive.
Akan tetapi perlu dicermati bahwa tidak semua dokumen memiliki kredibilitas yang tinggi. Sebagai contoh banyak foto yang tidak mencerminkan keadaan aslinya karena foto dibuat untuk kepentingan tertentu. Demikian juga autobiografi yang ditulis untuk dirinya sendiri, sering subjektif.

4. Triangulasi
            Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.
Triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dan sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
Dalam hal triangulasi, Stainback (1988) menyatakan bahwa “The aim is not to determine the truth about some social phenomenon, rather the purpose of triangulation is to increase one’s understanding of what ever is being investigated”. Tujuan dan trianggulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada meningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. Selanjutnya, Bogdan menyatakan “What the qualitative researcher is interested in is not truth per Se, but rather perspectives. Thus, rather than trying to deterinine the “truth” of people ‘s perceptions, the purpose of corroboration is to help researchers increase their understanding and the probability that their finding will be seen as credible or worthy of concideration by others.”
            Tujuan penelitian kualitatif memang bukan semata-mata mencari kebenaran, tmelainkan lebih pada pemahaman subjek terhadap dunia sekitarnya. Dalam memahami dunia sekitarnya, mungkin apa yang dikemukakan subjek salah karena tidak sesuai dengan teori, tidak sesuai dengan hukum. Selanjutnya, Mathinson (1988) mengemukakan bahwa “The value of triangulation lies in providing evidence — whether convergent, inconsistent, or contracdictoy.” Nilai dan teknik pengumpulan data dengan trianggulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas, dan pasti. Triangulasi can build on the strengths of each type of data collection while ininiinizing the weakness in any single approach (Patton 1980). Triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data bila dibandingkan dengan satu pendekatan.

2.1.6.3 Teknik Analisis Data
1. Pengertian Analisis Data
Dalam penelitian kuantitatif, teknik analisis data yang digunakan sudah jelas, yaitu diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal. Karena datanya kuantitatif, teknik analisis data menggunakan metode statistik yang sudah tersedia, misalnya akan menguji hipotesis hubungan antar dua variabel. Bila datanya ordinal, statistik yang digunakan adalah Korelasi Spearman Rank, sedangkan bila datanya interval atau ratio digunakan Korelasi Pearson Product Moment. Bila akan menguji signifikasi komparasi data dua sampel, datanya interval atau ratio digunakan t-test dua sampel, bila datanya noininal digunakan Chi Kuadrat. Selanjutnya, bila akan menguji hipotesis komparatif lebih dan dua sampel, datanya interval, digunakan Analisis Varian.
Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Pengamatan yang terus- menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali. Data yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak data kuantitatif) sehingga teknik analisis data yang digunakan belum ada polanya yang jelas. Oleh karena itu, kesulitan sering dialami dalam melakukan analisis, seperti dinyatakan oleh Miles and Huberman (1984), “The most serious and central d in the use of central d in the use of qualitative data is that methods of analysis are not well formulate”. Yang paling serius dan sulit dalam analisis data kualitatif adalah karena metode analisis belum dirumuskan dengan baik. Selanjuthya Susan Stainback menyatakan, “There are no guidelines in qualitative research for deterinining how much data and data analysis are necessary to support and assertion, conclusion, or theory”. Belum ada panduan dalam penelitian kualitatif untuk menentukan berapa banyak data dan analisis yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau teori. Selanjutnya, Nasution menyatakan bahwa: melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan intelektual yang tinggi. Tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk mengadakan analisis sehingga setiap peneliti harus mencari sendiri metode yang dirasakan cocok dengan sifat penelitiannya. Bahan yang sarna bisa diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda.”
            Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan menyatakan,  “Data analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcripts, fleidnotes, and other materials that you accumulate to increase your own understanding of them and to enable you to present what you have discovered to others”. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat dinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipejari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Stainback, mengemukakan, “Data analysis is critical to the qualitative research process. It is to recognition, study, and understanding of interrelationship and concept in your data that hypotheses and assertions can be developed and evaluated”. Analisis data merupakan hal yang kritis dalam proses penelitian kualitatif.
            Berdasarkan hal tersebut tersebut dapat dikemukakan di sini bahwa, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri atau orang lain.
Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dapat dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi ternyata hipotesis diterima, hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.
2. Proses Analisis Data
            Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan bahwa analisis telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin teori yang grounded”. Namun, dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. In fact, data analysis in qualitative research is an on going activity that occurs through out the investigative process rather than after process. Dalam kenyataannya, analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data dan setelah selesai pengumpulan data.

1) Analisis Sebelum di Lapangan
            Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun, demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. Jadi, ibarat seseorang ingin mencari pohon jati di suatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim, dapat diduga bahwa hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh karena itu, peneliti dalam membuat proposal penelitian, fokusnya adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan tersebut, berikut karakteristiknya.
            Setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada pohon jatinya. Peneliti kuantitatif tentu akan membatalkan penelitiannya, tetapi kalau peneliti kualitatif tidak karena fokus penelitian bersifat sementara dan akan berkembang setelah di lapangan. Bagi peneliti kualitatif, kalau fokus penelitian yang dirumuskan pada proposal tidak ada di lapangan, peneliti akan mengubah fokusnya, tidak lagi mencari kayu jati di hutan, tetapi akan berubah dan mungkin setelah masuk hutan tidak lagi tertarik pada kayu jati, tetapi beralih ke pohoh-pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada di hutan tersebut.
2. Analisis Data selama di Lapangan Model Miles dan Huberman
Menurut Miles and Huberman (dalam Sugyono, 2005) analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing.

a. Data Reduction (Reduksi Data)
            Data yang diperoleh dan lapangan jurnlahnya cukup banyak sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan,  jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
Dengan reduksi, peneliti merangkum, mengambil data yang pokok dan penting, membuat kategorisasi, berdasarkan huruf besar, huruf kecil, dan angka. Data yang tidak penting yang diilustrasikan dalam bentuk simbol-simbol seperti %, #, dsb, dibuang karena dianggap tidak penting bagi peneliti.
            Dalam suatu situasi sosial tertentu, peneliti dalam mereduksi data mungkin akan memfokuskan pada orang miskin, pekerjaan sehari-hari yang dikerjakan, dan rumah tinggalnya. Dalam bidang manajemen, dalam mereduksi data mungkin peneliti akan memfokuskan pada bidang pengawasan, dengan melihat perilaku orang-orang yang jadi pengawas, metode kerja, tempat kerja, interaksi antara pengawas dan yang diawasi, serta hasil pengawasan. Dalam bidang pendidikan, setelah peneliti memasuki setting sekolah sebagai tempat penelitian, dalam mereduksi data peneliti akan terfokus pada murid-murid yang memiliki kecerdasan tinggi dengan mengkategorikan pada aspek, gaya belajar, perilaku sosial, interkasi dengan keluarga dan lingkungan, dan perilaku di kelas.
Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data. Ibarat melakukan penelitian di hutan, pohon-pohon atau tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang belum dikenal selama ini justru dijadikan fokus untuk pengamatan selanjutnya.
Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli. Melalui diskusi itu, wawasan peneliti akan berkembang sehingga dapat mereduksi data-data yang meiniliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan.

b. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard, piktogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan semakin mudah dipahami.
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1984) menyatakan “The most frequent form of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Dengan mendisplaykan data, peneliti akan mudah memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. “Looking at displays help us to understand what is happening and to do some thing-further analysis or caution on that understanding Miles and Huberman (1984)”. Selanjutnya, disarankan, display data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa, grafik, matriks, network (jaring kerja) dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, perlu dijawab pertanyaan berikut. Apakah Anda tahu, apa isi yang didisplaykan?
            Dalam mendisplaykan data, huruf besar, huruf kecil dan angka disusun ke dalam urutan sehingga strukturnya dapat dipahami. Selanjutnya, setelah dilakukan analisis secara mendalam, ternyata ada hubungan yang interaktif antara tiga kelompok tersebut.
Praktiknya tidak semudah ilustrasi yang diberikan karena fenomena sosial bersifat kompleks dan dinamis sehingga apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Oleh karena itu, peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung oleh data pada saat dikumpulkan di lapangan, hipotesis tersebut terbukti, dan akan berkembang menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secara induktif, berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus-menerus.
Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, pola tersebut sudah menjadi pola yang baku yang tidak lagi berubah. Pola tersebut selanjutnya didisplaykan pada laporan akhir penelitian.

c. Conclusion Drawing /Verification
            Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dengan demikian, kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.

3. Analisis data Selama di Lapangan model Spradley
            Spradley (1980) membagi analisis data dalam penelitian kualitatif berdasarkan tahapan dalam pénelitian kualitatif. Tahapan penelitian
            Proses penelitian kualitatif setelah memasuki lapangan dimulai dengan menetapkan seseorang informan kunci “key informan yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek penelitian. Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut, dan mencatat hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil wawancara. Berdasarkan hasil dan analisis wawancara, selanjutnya peneliti melakukan analisis domain. Pada langkah ketujuh peneliti sudah menentukan fokus dan melakukan analisis taksonomi. Berdasarkan hasil analisis taksonomi, selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan kontras, yang dilanjutkan dengan analisis komponensial. Hasil dan analisis komponensial, selanjutnya peneliti menemukan tema-tema budaya. Berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya peneliti menuliskan laporan penelitian etnografi.
Jadi, proses penelitian berangkat dan yang luas, kemudian memfokus, dan meluas lagi. Terdapat tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian kulitatif, yaitu analisis domain, taksonomi, komponensial, dan analisis tema kultural.

a. Analisis Domain
            Setelah peneliti memasuki obyek penelitian yang berupa situasi sosial yang terdiri atas, place, actor dan activity (PAA), selanjutnya melaksanakan observasi partisipan, mencatat hasil observasi dan wawancara, melakukan observasi deskriptif, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis domain. Dalam hal ini Spradley menyatakan: “Domain analysis is the first type of ethnographic analysis. In later steps we will consider taxonoinic analysis, which involves a search for the way cultural domains are organize, the componential analysis, which involves a search for the attributes of terms in each domain. Finally, we will consider theme analysis, which involves a search for the relationship among domain and for how they are linked to the cultural scene as a whole”.
            Analisis domain merupakan langkah pertama dalam penelitian kualitatif. Langkah selanjutnya adalah analisis taksonomi yang aktivitasnya adalah mencari bagaimana domain yang dipilih itu dijabarkan menjadi lebih rinci. Selanjutnya, analisis komponensial aktivitasnya adalah mencari perbedaan yang spesifik setiap rincian yang dihasilkan dan analisis taksonomi. Yang terakhir adalah analisis tema, yang aktivitasnya adalah mencari hubungan di antara domain dan bagaimana hubungannya dengan keseluruhan, selanjutnya dirumuskan dalam suatu tema atau judul penelitian. Dalam hal tema Spradley (1980) menyatakan “Theme as a postulate or position, declare or implied, and usually controlling behavior or stimulating activity, which tacitly approved or openly promoted in society”.
            Analisis domain pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situsi sosial yang diteliti atau objek penelitian. Data diperoleh dan grand tour dan ininitour question. Hasilnya berupa gambaran umum tentang objek yang diteliti, yang sebelumnya belum pernah diketahui. Dalam analisis ini, informasi yang diperoleh belum mendalam, masih di permukaan, tetapi sudah menemukan domain-domain atau kategori dan situasi sosial yang diteliti.
Dalam situasi sosial terdapat ratusan atau ribuan kategori. A category is an array of difftrent objects that are treated as if they were equivalent (Spradley 1984). Suatu domain merupakan kategori budaya (cultur category) terdiri atas tiga elemen yaitu cover term, included terms, dan semantic relationship. Cover term adalah nama suatu domain budaya, included term nama-nama yang lebih rinci yang ada dalam suatu kategori. Elemen ketiga dan seluruh domain budaya adalah hubungan semantik antar kategori. Mencari hubungan semantik ini merupakan hal yang penting untuk menemukan berbagai domain budaya.
Untuk menemukan domain dan konteks sosial/objek yang diteliti, Spradley menyarankan untuk melakukan analisis hubungan semantik antarkategori yang meliputi sembilan tipe. Tipe hubungan ini bersifat universal yang dapat digunakan untuk berbagai jenis situasi sosial.
Kesembilan hubungan semantik tersebut adalah: strict inclusion (jenis), spatial (ruang), cause effect (sebab akibat), rationale (rasional), location for action (lokasi untuk melakukan sesuatu), function (fungsi), means-end (cara mencapai tujuan), sequence (urutan), attribution (atribut). Pada tabel  berikut ini diberikan contoh analisis hubungan semantik untuk jenjang dan jenis pendidikan.


Contoh Analisis Hubungan Semantik Pendidikan Kejuruan

No.
Hubungan
Bentuk
Contoh
1.
Jenis (strict inclusion) SMK
X adalah jenis dan Y
SMK adalah jenis pendidikan kejuruan
2.
Ruang (Spatial)
X adalah tempat Y
Bengkel adalah tempat praktik siwa SMK
3.
Sebab akibat
X adalah akibat dari Y
Masuk sekolah kejuruan karena ingin segera dapat bekerja
4.

Lokasi untuk melakukan sesuatu

X merupakan tempat untuk melakukan X

Laboratorium merupakan tempat untuk pengujian bahan
5.
Cara mencapai tujuan
X merupakan cara untuk mencapai tujuan
Belajar rajin dan tekun merupakan cara untuk mencapai sukses

6.
Fungsi

X digunakan untuk fungsi Y

LCD digunakan guru sebagai            mendia
pembelajaran teknik

7.
Urutan

X merupakan tahap setelah Y

Belajar praktek dengan mesin konvensional dulu, sebelum belajar dengan mesin yang dikendalikan komputer

8.
Atribut/ karakteristik

X merupakan
karakteristik Y
Karakterstik sekolah kejuruan adalah adanya bengkel untuk tempat praktik


Untuk memudahkan dalam melakukan analisis domain terhadap data yang telah terkumpul dan observasi, pengamatan dan dokumentasi, sebaiknya digunakan lembaran kerja analisis domain (domain analysis worksheet), seperti contoh seperti pada tabel tersebut.
Melalui lembaran kerja tersebut, semua included term (rincian domain yang sejenis dikelompokkan) selanjutnya dimasukkan ke dalam tipe hubungan semantik yang mana (sembilan hubungan), dan setelah itu dapat ditentukan masuk ke dalam domain apa. Sebagai contoh pendidikan penduduk yang lulusan SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi sebagai domain dan pendidikan penduduk masyarakat tertentu.

b. Analisis Taksonomi
            Setelah peneliti melakukan analisis domain sehingga ditemukan domain-doinian atau kategori dan situasi sosial tertentu, selanjutnya domain yang dipilih oleh peneliti dan selanjutnya ditetapkan sebagai fokus penelitian, perlu diperdalam lagi melalui pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus melalui pengamatan, wawancara mendalam dan dokumentasi sehingga data yang terkumpul menjadi banyak. Oleh karena itu pada tahap ini diperlukan analisis lagi yang disebut dengan analisis taksonomi. Jadi, analisis taksonomi adalah analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan. Dengan demikian, domain yang telah ditetapkan menjadi cover term oleh peneliti dapat diurai secara lebih rinci dan mendalam melalui analisis taksonomi in Hasil analisis taksonomi dapat disajikan dalam bentuk diagram kotak (box diagram), diagram garis dan simpul, (lines and node diagram) dan out line.

c. Analisis Komponensial
Dalam analisis taksonomi, yang diurai adalah domain yang telah ditetapkan menjadi fokus. Melalui analisis taksonomi, setiap domain dicari elemen yang serupa atau serumpun. Ini diperoleh melalui observasi dan wawancara serta dokumentasi yang terfokus.
Pada analisis komponensial, yang dicari untuk diorganisasikan dalam domain bukanlah keserupaan dalam domain, tetapi justru yang memiliki perbedaan atau yang kontras. Data ini dicari melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang terseleksi. Dengan teknik pengumpulan data yang bersifat triangulasi tersebut, sejumlah dimensi yang spesifik dan berbeda pada setiap elemen akan dapat ditemukan. Sebagai contoh, dalam analisis taksonomi telah ditemukan berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan tersebut, selanjutnya dicari elemen yang spesifik dan kontras pada tujuan sekolah, kurikulum, peserta didik, tenaga kependidikan dan sistem manajemennya.

d. Analisis Tema Budaya
            Analisis tema atau discovering cultural themes sesungguhnya merupakan upaya mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domain yang ada (Faisal, 1990). Dengan ditemukan benang merah dari hasil analisis domain, taksonomi, dan komponen tersebut, selanjutnya akan dapat tersusun suatu “konstruksi bangunan” situasi sosial/objek penelitian yang sebelumnya masih gelap atau remang-remang, dan setelah dilakukan penelitian, menjadi lebih terang dan jelas.
            Seperti telah dikemukakan bahwa analisis data kualitatif pada dasarnya adalah ingin memahami situasi sosial (objek penelitian dalam penelitian kuantitatif) menjadi bagian-bagian, hubungan antarbagian, dan hubungannya dengan keseluruhan. Jadi, ibaratnya seorang peneliti arkeologi menemukan batu-batu fondasi, tiang-tiang, pintu, kerangka atap, genting dan akhirnya dapat dikonstruksikan menjadi rumah jenis tertentu sehingga rumah tersebut dapat diberi nama. Jadi, inti dan analisis tema kultural itu adalah bagaimana peneliti mampu mengkontruksi barang yang berserakan menjadi rumah, dan rumah itu jenis rumah apa. Misalnya, rumah itu adalah rumah pedagang lembu. Jadi tema, budayanya adalah Rumah Pedagang Lembu”
Dalam penelitian kualitatif yang baik, justru judul laporan penelitian tidak sama dengan judul dalam proposal. Hal ini berarti peneliti mampu melepaskan diri tentang apa yang dipikirkan sebelum penelitian, dan mampu melihat gejala dalam situasi sosial/objek penelitian yang alamiah, lebih mampu memperhatikan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpengaruh oleh pola pikir sebelum peneliti ke lapangan. Dengan menemukan judul baru dalam laporan penelitian, berarti peneliti telah melakukan analisis tema, dan temanya diwujudkan dalam judul penelitian.
            Teknik analisis data yang diberikan oleh Miles and Huberman dan Spradley saling melengkapi. Dalam setiap tahapan penelitian Miles and Huberman menggunakan langkah-langkah reduksi data, data display , dan Verifikasi. Ketiga langkah tersebut dapat dilakukan pada semua tahap dalam proses penelitian kualitatif, yaitu tahap deskripsi, fokus, dan seleksi.





2.1.6.4 Sistematika Proposal Penelitian Kualitatif

I. PENDAHULUAN
      Pendahuluan ini berisi latar belakang masalah, fokus penelitian dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
            Walaupun dalam penelitian kualitatif, masalah ini bersifat sementara, masalah perlu dikemukakan dalam proposal penelitian. Masalah merupakan kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi, kesenjangan antara teori dengan praktik, kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan, kesenjangan antara tujuan dengan hasil yang dicapai, dan kesenjangan antara pengalaman masa lampau dengan yang terjadi. Setiap masalah pasti ada yang melatarbelakangi. Mobil diparkir di tengah jalan akan menjadi masalah karena jalan dipakai untuk lalu lintas, tetapi apabila jalan tersebut sudah merupakan jalan yang mati/tidak dipakai, tentu tidak akan menjadi masalah. Kualitas pelayanan yang rendah akan menjadi masalah karena pemerintah bertugas melayani masyarakat. Mobil mogok menjadi masalah karena mobil direncanakan untuk bepergian. Sewaktu mengikuti kuliah tertidur, menjadi masalah karena yang diharapkan sewaktu kuliah tidak tidur. Sebaliknya, tidak bisa tidur akan menjadi masalah kalau sudah waktunya direncanakan untuk tidur.
            Dalam latar belakang masalah ini perlu dikemukakan gambaran keadaan yang sedang terjadi selanjutnya dikaitkan dengan peraturan kebijakan, perencanaan, tujuan, teori, pengalaman, sehingga terlihat adanya kesenjangan yang merupakan masalah. Masalah ini perlu dikemukakan dalam bentuk data, misalnya kegagalan transinigrasi menjadi masalah, maka perlu ditunjukkan berapa orang yang gagal dan tahun ke tahun. Kualitas pelayanan yang rendah menjadi masalah, maka perlu ditunjukkan perilaku yang tidak simpatik yang melayani, dan keluhan atau pengaduan dan pihak yang dilayani.
Masalah yang dikemukakan dalam bentuk data dapat diperoleh dari studi pendahuluan, dokumentasi laporan penelitian, atau pemyataan orang-orang yang dianggap kredibel dalam media baik media cetak atau elektronik. Penelitian juga tidak harus berangkat dari masalah, tetapi dari potensi. Potensi tersebut dapat bekembang menjadi masalah karena potensi tersebut tidak dapat didayagunakan. Sebagai contoh, pada tempat tertentu terdapat sumber minyak, tetapi karena kita tidak dapat mengekploitasinya, sumber minyak itu bisa menjadi masalah.
Setelah masalah yang dikemukakan belum dapat diatasi, dan mungkin ada potensi yang belum dapat didayagunakan, perlu dilakukan penelitian. Jadi, dalam latar belakang masalah ini intinya berisi tentang jawaban atas pertanyaan mengapa perlu dilakukan penelitian.

1.2  Fokus Penelitian
            Kalau dalam penelitian kuantitatif, fokus penelitian ini merupakan batasan masalah. Karena adanya keterbatasan, baik tenaga, dana, maupun waktu, dan supaya hasil penelitian lebih terfokus. Peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap keseluruhan yang ada pada objek atau situasi sosial tertentu, tetapi perlu menentukan fokus. Dalam penelitian tentang pelayanan rumah sakit misalnya, peneliti akan memfokuskan pada prosedur pelayanan, kualitas pelayanan yang diberikan oleh dokter, perawat, petugas makanan, keamanan dan lingkungan. Dalam penelitian pendidikan, misalnya peneliti akan memfokuskkan pada interaksi guru dan murid di kelas. Dalam penelitian tentang sumber daya manusia, peneliti dapat memfokuskan pada sistem penggajian dan kinerja pegawai.
            Pada penelitian kualitatif penentuan fokus berdasarkan hasil studi pendahuluan, pengalaman, referensi, dan disarankan oleh pembimbing atau orang yang dipandang ahli. Fokus dalam penelitian ini juga masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti di lapangan.

1.3 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian tersebut, selanjutnya dibuat rumusan masalahnya. Rumusan masalah merupakan pertanyaan penelitian yang jawabannya dicarikan melalui penelitian. Rumusan masalah ini merupakan panduan awal bagi peneliti untuk penjelajahan pada obyek yang diteliti. Namun, bila rumusan masalah ini tidak sesuai dengan kondisi objek penelitian, peneliti perlu mengganti rurnusan masalah penelitiannya.
            Rumusan masalah dalam penelitian kualitatif tidak berkenaan dengan variabel penelitian, yang bersifat spesifik, tetapi lebih makro dan berkaitan dengan kemungkinan apa yang terjadi pada objek/situasi sosial penelitian tersebut. Berikut ini contoh rumusan masalah penelitian kualitatif, bidang manajemen.
1. Apakah pemahaman orang-orang yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna manajemen? (masalah deskriptif)
2.  Bagaimanakah iklim kerja atau suasana kerja pada organisasi tersebut? (masalah deskriptif)
3. Bagaimanakah pola perencanaan yang digunakan dalam organisasi itu, baik perencanaan strategis maupun taktis/tahunan? (masalah deskriptif)
4. Bagaimanakah model penempatan orang-orang untuk menduduki posisi dalam organisasi itu (masalah deskriptif)
5. Bagaimanakah model koordinasi, kepemimpinan, dan supervisi yang dijalankan dalam organisasi itu? (masalah asosiatif)
6. Bagaimanakah pola penyusunan anggaran pendapatan dan belanja organisasi itu? (masalah asosiatif)
7. Bagaimanakah pola pengawasan dan pengendalian yang dilakukan dalam organisasi tersebut? (masalah deskriptif)
8. Apakah kinerja organisasi tersebut berbeda dengan organisasi lain yang sejenis (masalah komparatif)

1.4 Tujuan Penelitian
            Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menemukan, mengembangkan dan membuktikan pengetahuan, sedangkan secara khusus tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan. Menemukan berarti sebelumnya belum pemah ada atau belum diketahui. Dengan metode kualitatif, peneliti dapat menemukan pemahaman terhadap situasi sosial yang diteliti, hipotesis, pola hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi teori.
            Tujuan penelitian dalam proposal penelitian kualitatif juga masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Dalam proposal tujuan penelitian terkait dengan rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui segala sesuatu setelah rumusan masalah itu terjawab melalui pengumpulan data. Dengan demikian, kalau rumusan masalahnya adalah “Bagaimanakah pemahaman orang-orang yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna manajemen”, tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pemahaman orang-orang yang ada dalam organisasi itu tentang arti dan makna manajemen.

1.5 Manfaat Penelitian
            Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa bersifat teoretis, dan praktis. Untuk penelitian kualitatif, manfaat penelitian lebih bersifat teoretis, yaitu untuk pengembangan ilmu, tetapi juga tidak menolak manfaat praktisnya untuk memecahkan masalah. Bila peneliti kualitatif dapat menemukan teori, teori tersebut akan berguna untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengendalikan suatu gejala.


II. STUDI KEPUSTAKAAN
Studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoretis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti. Terdapat tiga kriteria terhadap teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, yaitu relevansi, kemutakhiran, dan keaslian. Relevansi berarti teori yang dikemukakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Kalau yang diteliti masalah kepeinimpinan, teori yang dikemukakan berkenaan dengan kepeinimpinan, bukan teori sikap atau motivasi. Kemutakhiran berarti terkait dengan kebaruan teori alan referensi yang digunakan. Pada umumnya referensi yang sudah lebih dan lima tahun diterbitkan dianggap kurang mutakhir. Penggunaan jurnal atau internet sebagai referensi untuk mengemukakan landasan teori lebih diutamakan. Keaslian terkait dengan keaslian sumber, maksudnya supaya peneliti menggunakan sumber aslinya dalam mengernukakan teori. Jangan sampai peneliti mengutip dan kutipan orang lain, dan sebaiknya dicari sumber aslinya.
            Berapa teori yang dikemukakan dalam proposal akan sangat tergantung pada fokus penelitian yang ditetapkan oleh peneliti. Makin banyak fokus penelitian yang ditetapkan, akan semakin banyak teori yang perlu dikemukakan.
            Dengan dikemukakan landasan teori dan nilai-nilai budaya yang ada pada konteks sosial yang diteliti, hal ini merupakan indikator bagi peneliti, apakah peneliti memiliki wawasan yang luas atau tidak terhadap situasi sosial yang diteliti. Validasi awal bagi peneliti kualitatif adalah seberapa jauh kemampuan peneliti mendeskripsikan teori-teori yang terkait dengan bidang dan konteks sosial yang diteliti.
Dalam landasan teori perlu dikemukakan definisi setiap fokus yang akan diteliti, ruang lingkup keluasan serta kedalamannya. Dalam definisi perlu dikemukakan definisi-definisi yang sejalan atau yang tidak sejalan. Jadi, dikontraskan. Dengan demikian, landasan teori yang dikemukakan semakin kuat.
Dalam penelitian kualitatif, teori yang dikemukakan bersifat sementara, dan akan berkembang atau berubah setelah peneliti berada di lapangan. Selanjutnya, dalam landasan teori, tidak perlu dibuat kerangka berpikir sebagai dasar untuk perumusan hipotesis karena dalam penelitian kualitatif tidak akan menguji hipotesis, tetapi justru menemukan hipotesis.






III. METODE PENELITIAN
            Komponen dalam metode penelitian kualitatif adalah alasan menggunakan metode kualitatif, tempat penelitian, instrumen penelitian, sampel sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan rencana pengujian keabsahan data.

3.1 Alasan Menggunakan Metode Kualitatif
            Dalam hal ini perlu dikemukakan, mengapa metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pada umumnya alasan menggunakan metode kualitatif karena permasalahan belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif dengan intrumen seperti tes, kuesioner, pedoman wawancara. Selain itu peneliti bermaksud memahaini situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori.

3.2 Tempat Penelitian
            Dalam hal ini perlu dikemukakan tempat situasi sosial tersebut akan diteliti, misalnya di sekolah, di perusahaan, di lembaga pemerintah, di jalan, di rumah dan lain-lain.

3.3 Instrumen Penelitian
            Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri atau anggota tim peneliti. Untuk itu perlu dikemukakan siapa yang akan menjadi instrumen penelitian, atau mungkin setelah permasalahannya dan fokus jelas peneliti akan menggunakan instrumen. Instrumen yang akan digunakan perlu dikemukakan pada bagian ini.

3.4 Sampel Sumber Data
 Dalam penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sampel sumber data, pada proposal masih bersifat sementara, dan akan berkembang kemudian setelah peneliti di lapangan. Sampel sumber data pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti sehingga mampu “membukakan pintu” kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data.
            Faisal (1990) dengan mengutip pendapat Spradley mengemukakan bahwa situasi sosial untuk sampel awal sangat disarankan suatu situasi sosial yang didalamnya menjadi semacam muara dan banyak domain lainnya. Selanjutnya, dinyatakan bahwa sampel sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
1. Mereka yang menguasai atau memahaini sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayatinya.
2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang.tengah diteliti.
3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk diinintai informasi.
4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
5. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga Iebih menggairahkan untuk dijadikan sernacam guru atau narasumber.
      Siapa yang dijadikan sampel sumber data, dan berapa jumlahnya dapat diketahui setelah penelitian selesai. Jadi, tidak dapat disiapkan sejak awal atau dalam proposal.

3.5 Teknik Pengumpulan Data
            Pada bagian ini dikemukakan bahwa, dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi participant, wawancara mendalam studi dokumentasi, dan gabungan ketiganya atau trianggulasi. Perlu dikemukakan kalau teknik pengumpulan datanya dengan observasi, perlu dikemukakan apa yang diobservasi, kalau wawancara, kepada siapa akan melakukan wawancara.

3.6  Teknik Analisis Data
            Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Tahapan dalam penelitian kualitatif adalah tahap memasuki lapangan dengan grand tour dan ininitour question, analisis datanya dengan analisis domain. Tahap kedua adalah menentukan fokus, teknik pengumpulan data dengan minitour question, analisis data dilakukan dengan analisis taksonomi. Selanjutnya pada tahap selection, pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensial. Setelah analisis komponensial, dilanjutkan analisis tema.
            Jadi, analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman dilakukan secara interaktif melalui proses data reduction, data display, dan verification. Sedangkan menurut Spradley dilakukan secara berurutan, melalui proses analisis domain, taksonomi, komponensial, dan tema budaya.

3.7 Rencana Pengujian Keabsahan Data
Dalam proposal perlu dikemukakan rencana uji keabsahan data yang akan dilakukan. Uji keabsahan data meliputi uji kredibilitas data (validitas internal), uji depenabilitas (reliabilitas) data, uji transferabilitas (validitas eksternal/generalisasi), dan uji komfirmabilitas (objektivitas). Namun, yang utama adalah uji kredibilitas data. Uji kredibilitas dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan teman sejawat, member check, dan analisis kasus negatif.


2.2    Penelitian Kuantitatif
Bagaimanakah penggunaan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif dalam suatu penelitian?  Untuk mengetahui frekuensi distribusi atau korelasi yang relevan dipilih pendekatan kuantitatif, sedangkan untuk aspek masalah sosial tertentu sering sekali metode kualitatif lebih serasi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, para peneliti pemula dalam penelitian kualitatif sangat perlu memiliki pemahaman dan studi banding antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Perbandingan antara kedua pendekatan tersebut telah dipaparkan oleh beberapa ahli.


BAGIAN III

PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(ACTION RESEARCH)

3.1 Hakikat Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)
             Dewasa ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai bagian dari penelitian tindakan (action research) yang bertujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas, semakin banyak diminati. Banyak tenaga pendidik melakukan PTK dalam upaya mereka mengembangkan profesinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang PTK semaikin dibutuhkan. Di sisi lain, masih banyak guru yang membuat KTI menyebut tulisannya sebagai PTK, tetapi sebenarnya belum atau bahkan bukan PTK (Arikunto, 2006:vii).
Kiranya kita sependapat bahwa tenaga pendidik (seperti guru, widyaswara, dosen, dan lain-lain) memegang peran penting dalam upaya mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, kita mendukung berbagai kegiatan yang bertujuan meningkatkan mutu, penghargaan, dan kesejahteraannya yang telah dan akan terus dilakukan. Harapannya, mereka akan lebih mampu bekerja sebagai tenaga profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pendidik. Sebagai contoh, adanya Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Penetapan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/ P/1993, Nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru.
 Pada aturan tersebut, di antaranya dinyatakan bahwa untuk keperluan kenaikan pangkat/jabatan Guru Pembina/Golongan IVa ke atas, diwajibkan adanya angka kredit yang harus diperoleh dari Kegiatan Pengembangan Profesi. Melalui sistem angka kredit tersebut, diharapkan dapat diberikan penghargaan secara lebih adil dan lebih profesional terhadap pangkat guru yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan tingkat kesejahteraannya.
Saat ini kegiatan penelitian yang makin banyak dilakukan oleh para guru adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Oleh karena itulah, informasi tentang apa, mengapa, dan bagaimana melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mudah dipahami menjadi semakin penting dan diperlukan, khususnya bagi mereka yang berminat untuk melaksanakan PTK (Suharjono dkk., 2006:44).
            Apa itu Penelitian Tindakan Kelas (PTK)? Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Classroom Action Research (CAR), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan di kelas. Lebih lanjut konsep Penelitian, Tindakan, dan Kelas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Penelitian menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan meng-
    gunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau infor-
    masi yang bermanfaat dalam meningkatkan suatu hal yang menarik minat dan pen-
    ting bagi peneliti. Penelitian dapat juga dipahami sebagai penyelidikan suatu
    masalah secara sistematis, kritis, ilmiah, dan lebih formal. Penelitian merupakan
    kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan logika proses berpikir eksplisit dan
    informasinya dikumpulkan secara objektif dan sistematis.
2) Tindakan menunjuk pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan
     tujuan tertentu. Dalam penelitian, tindakan dimaksud berbentuk rangkaian siklus
     kegiatan untuk siswa.
3)  Kelas, dalam hal ini tidak terikat pada ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang
     lebih spesifik. Kelas adalah sekelompok peserta didik yang sedang belajar.
            Menurut pengertian lama, kelas adalah sebuah ruangan tempat guru mengajar dan siswa yang sedang belajar. Menurut pengertian lama tersebut, istilah kelas mengarah pada sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Konsep kelas yang demikian untuk kondisi dan situasi sekarang cenderung keliru. 
            Dalam konteks pembelajaran dewasa ini, kelas bukan wujud ruangan, melainkan berwujud sekelompok peserta didik yang sedang belajar. Dengan demikian, PTK dapat dilakukan tidak hanya  di ruang kelas, tetapi di mana saja tempatnya, yang penting ada sekelompok anak yang sedang belajar. Peristiwanya dapat terjadi di laboratorium, di perpustakaan, di lapangan olahraga, atau di tempat lain, yaitu tempat siswa belajar tentang hal yang sama dari seorang guru atau fasilitator yang sama.
            Berdasarkan batasan pengertian tiga kata inti, yaitu penelitian, tindakan, dan kelas, dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa. PTK merupakan salah satu upaya guru dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pembelajaran (Depdiknas Dirjen PMPTK: 2007: 17). PTK pada hakikatnya merupakan rangkaian ”riset-tindakan-riset-tindakan yang dilakukan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan.
            PTK dapat juga diartikan sebagai penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dan bukan pada input kelas (silabus, materi, dll.) ataupun output (hasil belajar). PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas (Depdiknas Dirjen PMPTK 2007).

3.2 Konsep ”Kelas” dalam PTK
            Kembali kepada konsep ”kelas” dalam PTK. Komponen dalam sebuah kelas yang dapat dikaji melalui penelitian tindakan adalah sebagai berikut.
1) Siswa, dapat dicermati objeknya ketika siswa yang bersangkutan sedang asyik
    mengikuti proses pembelajaran di kelas/lapangan/laboratorium atau bengkel, dan
    ketika siswa sedang asyik mengerjakan pekerjaan rumah di malam hari, atau ketika
    mereka sedang mengikuti kerja bakti di luar sekolah.
2) Guru, dapat dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengajar di kelas, sedang
    membimbing siswa-siswa yang sedang berdarmawisata, atau ketika guru sedang
    mengadakan kunjungan ke rumah siswa.
3) Materi pelajaran, dapat dicermati ketika guru sedang mengajar atau sebagai
    bahan yang ditugaskan kepada siswa.


4) Peralatan atau sarana pendidikan, dapat dicermati ketika guru sedang mengajar
    dengan tujuan meningkatkan mutu hasil belajar, yang diamati dapat guru, siswa,
    atau keduanya.
5) Lingkungan, baik lingkungan siswa di kelas, sekolah, maupun yang melingkungi
    siswa di rumahnya. Pada penelitian tindakan, bentuk tindakan yang dilakukan
    adalah mengubah kondisi lingkungan menjadi lebih kondusif.
6) Pengelolaan, merupakan kegiatan yang sedang diterapkan dan dapat direkayasa
    dalam bentuk tindakan. Yang digolongkan sebagai kegiatan pengelolaan,
    misalnya, cara mengelompokkan siswa ketika guru memberikan tugas, pengaturan
    urutan jadwal, pengaturan tempat duduk siswa, penempatan papan tulis, penataan
    peralatan milik siswa, dan sebagainya.

            Permasalahan yang dapat dikaji sehubungan dengan makna ”kelas” dalam PTK cukup luas, di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut.
(1)   Masalah belajar siswa di sekolah, misalnya permasalahan belajar di kelas, kesalahan pembelajaran, miskonsepsi, misstrategi, dan lain- lain.
(2)   Pengembangan profesionalisme guru dalam peningkatan mutu perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi program pengajaran.
(3)   Pengelolaan dan pengendalian, misalnya pengenalan teknik modifikasi perilaku, teknik memotivasi, dan teknik pengembangan potensi diri.
(4)   Desain dan strategi pembelajaran di kelas, misalnya masalah pengelolaan dan prosedur pembelajaran, implementasi dan inovasi dalam metode pembelajaran (misalnya penggantian metode mengajar tradisional dengan metode mengajar baru), interaksi di dalam kelas (misalnya penggunaan strategi pengajaran yang didasarkan pada pendekatan terpadu).
(5)   Penanaman dan pengembangan sikap serta nilai-nilai, misalnya pengembangan pola berpikir ilmiah dalam din siswa.
(6)   Alat bantu, media, dan sumber belajar, misalnya masalah penggunaan media, perpustakaan, dan sumber belajar di dalam/luar kelas.
(7)   Sistem asesmen dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran, misalnya masalah evaluasi awal dan hasil pembelajaran, pengembangan instrumen asesmen berbasis kompetensi, atau penggunaan alat, metode evaluasi tertentu.
(8)   Masalah kurikulum, misalnya implementasi KBK; urutan penyajian materi pokok; interaksi guru-siswa, siswa-materi ajar, dan siswa-lingkungan belajar.

3.3  PTK dan Penelitian Model Lain
            PTK termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif. PTK berbeda dengan penelitian formal. Penelitian formal bertujuan menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general). PTK lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual, dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun, hasil PTK dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai konteks yang mirip dengan peneliti (dalam Pelangi Pendidikan, 2001:14).
            Perbedaan PTK dan penelitian formal dapat dikemukakan sebagai berikut.
Penelitian Formal
PTK
1) Dilakukan oleh orang luar
1) Dilakukan oleh guru atau dosen
2) Sampel harus representatif
2) Kerepresentatifan sampel tidak diper-
    hatikan
3) Instrumen harus valid dan reliabel
3)  Instrumen yang valid dan reliabel ti-
     dak diperhatikan
4) Menuntut penggunaan analisis statistik
4) Tidak menggunakan analisis statistik
     yang rumit
5) Mempersyaratkan hipotesis
5)  Tidak selalu menggunakan hipotesis
6) Mengembangkan teori
6) Memperbaiki praktik pembelajaran
    secara langsung
7) Tidak memperbaiki praktik pembel-
    ajaran secara langsung
7) Hasil penelitian merupakan produk
    ilmu terutama prosesnya
8) Hasil penelitian merupakan produk
    Ilmu

                                     
Secara lebih spesifik, PTK dibandingkan dengan penelitian deskriptif atau eksperimen dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data ten-    tang fenomena yang diteliti, misalnya kondisi sesuatu atau kejadian, disertai dengan    informasi tentang faktor penyebab sehingga mungkin muncul kejadian yang dideskripsikan secara rinci, urut, dan jujur.
2) Penelitian eksperimen dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data ten-    tang akibat dari adanya suatu treatment atau perlakuan. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetes suatu hipotesis yang dilandasi dengan asumsi yang kuat akan adanya hubungan sebab-akibat antara dua variabel. Setelah diketahui misalnya model pembelajaran mana yang lebih baik memberikan hasil, peneliti diharapkan mempunyai niat untuk melanjutkan hasil tersebut dengan penelitian yang lebih intensif dalam bentuk penelitian tindakan (Arikunto, 2006:26).
            Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang disebutkan tersebut, penelitian tindakan tidak lagi mengetes sebuah perlakuan, tetapi sudah memiliki kemantapan akan ampuhnya suatu perlakuan. Lebih lanjut, dalam PTK peneliti langsung menerapkan perlakuan tersebut dengan hati-hati sambil mengikuti setiap langkah dari proses serta dampak perlakuan dimaksud. Dengan demikian, PTK dapat dipandang sebagai tindak lanjut dari penelitian deskriptif maupun eksperimen. Perbedaan yang nyata adalah bahwa PTK tidak mengenal populasi dan sampel karena hasilnya tidak dimaksudkan untuk membuat sebuah generalisasi. Dengan kata lain, hasil PTK hanya berlaku bagi kasus yang diteliti. 

3.4 Ciri-ciri PTK
            Ciri khusus PTK adalah adanya tindakan (action) yang nyata. Tindakan itu dilakukan pada situasi alami (bukan laboratorium) dan ditujukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis. Tindakan tersebut merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu berbentuk rangkaian siklus kegiatan.
Ciri-ciri lain PTK adalah sebagai berikut.
1) PTK merupakan kegiatan penelitian yang tidak saja berupaya untuk memecahkan      masalah, tetapi sekaligus juga mencari dukungan ilmiahnya. PTK merupakan      bagian penting dari upaya pengembangan profesional guru (tumbuhnya sikap      profesional dalam diri guru) karena PTK mampu membelajarkan guru untuk      berpikir kritis dan sistematis, mampu membelajarkan guru untuk menulis dan      membuat catatan.
2) Hal yang dipermasalahkan bukan dihasilkan dari kajian teoretik atau dari hasil     penelitian terdahulu, melainkan berasal dari adanya permasalahan yang nyata dan     aktual yang terjadi dalam pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, PTK berfokus     pada masalah praktis bukan masalah teoretis atau bersifat bebas konteks.
3)    PTK hendaknya dimulai dari permasalahan yang sederhana, nyata, jelas, dan tajam terhadap hal-hal yang terjadi di dalam kelas.
4) Adanya kolaborasi (kerjasama) antara praktisi (guru, kepala sekolah, siswa, dll.)      dan peneliti dalam pemahaman, kesepakatan tentang permasalahan, pengambilan      keputusan yang akhirnya melahirkan kesamaan tindakan (action).
5) Di samping itu, PTK dilakukan hanya bila ada (1) keputusan kelompok dan     komitmen untuk pengembangan, (2) bertujuan meningkatkan profesionalisme guru, (3) alasan pokok: ingin tahu, ingin membantu, ingin meningkatkan, dan (4) bertujuan memperoleh pengetahuan dan atau sebagai pemecahan masalah.

Sesuai dengan prinsip bahwa ada tindakan yang dirancang sebelumnya, objek PTK harus merupakan sesuatu yang aktif dan dapat dikenai aktivitas. Di samping itu, karena menggunakan kegiatan nyata di kelas, PTK menuntut etika, antara lain: (a) tidak boleh mengganggu tugas proses pembelajaran dan tugas mengajar guru, (b) jangan terlalu menyita banyak waktu (dalam pengambilan data, dll.),  (c) masalah yang dikaji harus merupakan masalah yang benar-benar ada dan dihadapi oleh guru, (d) dilaksanakan dengan selalu memegang etika kerja (mendapat izin, membuat laporan, dll.).

3.5 Tujuan dan Luaran PTK
Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata guru dalam pengembangan profesionalnya. Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan nyata dan praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di kelas yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dan siswa yang sedang belajar.
Secara lebih rinci, tujuan PTK antara lain sebagai berikut.
1) Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran
    di sekolah.
2) Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas.
3) Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.
4) Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta
    sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran
    secara berkelanjutan (sustainable).

Selanjutnya, luaran yang diharapkan dapat dihasilkan dan PTK adalah peningkatan atau perbaikan mutu proses dan hasil pembelajaran, antara lain meliputi hal-hal berikut.
1) Peningkatan atau perbaikan terhadap kinerja belajar siswa di sekolah.
2) Peningkatan atau perbaikan terhadap mutu proses pembelajaran di kelas.
3) Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas penggunaan media, alat bantu belajar dan sumber belajar lainnya.
4) Peningkatan atau perbaikan terhadap kualitas prosedur dan alat evaluasi yang digu     nakan untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa.
5) Peningkatan atau perbaikan terhadap masalah pendidikan anak di sekolah.
6) Peningkatan dan perbaikan terhadap kualitas penerapan kurikulurn dan pengem-
    bangan kompetensi siswa di sekolah (Suharjono, 2006).

3.6 Gambaran Model PTK
Ada beberapa ahli yang mengemukakan model penelitian tindakan dengan bagan yang berbeda. Namun, secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi.


Tahap 1: Menyusun rancangan tindakan (planning)
Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dari pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Istilah untuk cara ini adalah penelitian kolaborasi. Cara ini dikatakan ideal karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang dilakukan. Dengan mudah dapat diterima bahwa pengamatan yang diarahkan pada diri sendiri biasanya kurang teliti dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan terhadap hal-hal yang berada di luar diri karena adanya unsur subjektivitas yang berpengaruh, yaitu cenderung mengunggulkan dirinya. Apabila pengamatan dilakukan oleh orang lain, pengamatannya cenderunglebih cermat dan hasilnya diyakini akan lebih objektif.
Penelitian kolaborasi ini sangat disarankan kepada para guru yang belum pernah atau masih jarang melakukan penelitian. Meskipun dilakukan bersama, karena kelasnya berbeda, dan tentu saja peristiwanya berbeda, hasilnya pasti berbeda. Jika hasilnya dilaporkan sebagai karya tulis ilmiah bentuk laporan penelitian, masing-masing peneliti akan mendapat nilai sama, yaitu 4,0. Dalam hal ini guru tidak perlu ragu, takut nilainya dibagi 2 seperti kalau menulis bersama atau melakukan penelitian kelompok. Dalam penelitian tindakan, masing-masing berdiri sebagai peneliti meskipun ketika menyusun rencana dilakukan bersama-sama. Dengan demikian, penelitian tindakan yang baik adalah apabila dapat diusahakan sebagai berikut.
Pada tahap perencanaan atau penyusunan rancangan, peneliti menentukan fokus peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk diamati, kemudian membuat sebuah instrumen pengamatan untuk merekam fakta yang terjadi selama tindakan berlangsung. Secara rinci, tahapan perencanaan terdiri dari kegiatan sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi dan menganalisis masalah. Masalah tersebut harus benar-benar
    faktual terjadi di lapangan, masalah bersifat umum di kelasnya, masalahnya cukup
    penting dan bermanfaat bagi peningkatan mutu hasil pembelajaran, dan masalah
    pun harus dalam jangkauan kemampuan peneliti.
b. Menetapkan alasan mengapa penelitian tersebut dilakukan, yang akan melatar-
    belakangi PTK.
c. Merumuskan masalah secara jelas, baik dengan kalimat pertanyaan maupun kalimat pernyataan.
d. Menetapkan cara yang akan dilakukan untuk menemukan jawaban, berupa rumusan hipotesis tindakan. Umumnya dimulai dengan menetapkan berbagai alternatif tindakan pemecahan masalah, kemudian dipilih tindakan yang paling menjanjikan hasil terbaik dan yang dapat dilakukan guru.
e. Menentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan dengan menjabarkan indikator-
   indikator keberhasilan serta berbagai instrumen pengumpul data yang dapat dipakai
   untuk menganalisis indikator keberhasilan itu.
f. Membuat secara rinci rancangan tindakan.

Tahap 2: Pelaksanaan Tindakan (Acting)
Tahap ke-2 dalam penelitian tindakan adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan, yaitu mengenakan tindakan di kelas. Hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam tahap ke-2 ini peneliti harus ingat dan berusaha menaati apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar, tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan perencanaan perlu diperhatikan secara saksama agar sinkron dengan maksud semula.
Pada PTK yang dilakukan oleh guru, pelaksanaan tindakan ini umumnya dilakukan dalam waktu antara 2 sampai 3 bulan. Waktu tersebut dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan beberapa topik mata pelajaran tertentu.
Dalam laporan penelitian antara rancangan/rencana yang telah disusun harus sinkron dengan pelaksanaan tindakan. Yang sering terjadi, ketika mengajukan laporan penelitiannya, peneliti tidak melaporkan seperti apa perencanaan yang dibuat karena langsung melaporkan pelaksanaan. Oleh karena itu, bentuk dan isi laporannya harus sudah lengkap menggambarkan semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari persiapan sampai penyelesaian. Banyak di antara karya tulis yang diajukan oleh guru tidak dapat dinilai atau diterima oleh tim penilai karena isi laporannya tidak lengkap. Pada umumnya penulis merasa sudah menjelaskan tahapan metode yang dilaksanakan dalam tindakan, padahal baru disinggung dalam kajian pustaka saja, dan belum dijelaskan secara rinci bagaimana keterlaksanaannya ketika tindakan terjadi.

Tahap 3: Pengamatan (Observing)
            Tahapan ini, sebenarnya berjalan bersamaan dengan tahap pelaksanaan. Pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang berjalan. Jadi, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama.
            Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan dan mencatat semua hal yang diperlukan dan semua hal yang terjadi selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan format observasi/format penilaian yang telah dipersiapkan. Termasuk juga pengamatan secara cermat pelaksanaan skenario tindakan dari waktu ke waktu dan dampaknya terhadap proses dan hasil belajar siswa.
            Data yang dikumpulkan dapat berupa data kuantitatif (hasil tes, presentasi, ataupun nilai tugas). Dapat juga berupa data kualitatif yang menggambarkan keaktifan siswa, antusiasme mereka, mutu diskusi yang berlangsung, dan lain-lain yang teramati di kelas.
Tahap 4: Refleksi (Reflecting)
Jika penelitian tindakan dilakukan melalui beberapa siklus, dalam refleksi terakhir, peneliti menyampaikan rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila dia menghentikan kegiatannya, atau kepada diri sendiri apabila akan melanjutkan penelitian dalam kesempatan lain. Catatan-catatan penting yang dibuat sebaiknya rinci sehingga siapa pun yang akan melaksanakan penelitian lanjutan tidak akan menjumpai kesulitan.
Berdasarkan uraian tersebut, lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa ada empat tahapan penting dalam penelitian tindakan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, yang kembali ke langkah semula. Jadi, satu siklus adalah dari tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan “bentuk tindakan” sebagaimana disebutkan dalam uraian ini,  yang dimaksud dengan bentuk tindakan adalah siklus tersebut. Jadi, bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal, tetapi selalu harus berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus. Sebagai contoh, tindakan untuk mengajarkan topik “Peta Pulau Jawa” itu sudah tertentu materinya, jadi hanya berlangsung satu kali putaran. Lain lagi jika topiknya “Membaca Peta”, kegiatannya dapat berlangsung berkali-kali karena yang akan diajarkan ada beberapa sehingga dapat merupakan siklus berkesinambungan.
Dalam hal ini sering timbul pertanyaan adalah berapa lama satu siklus itu berlangsung, dan berapa kali pertemuankah peneliti diizinkan mengadakan refleksi agar terjadi satu kali siklus. Jawaban yang menunjukkan waktu kiranya kurang tepat diberikan karena jangka waktu pelaksanaan pembelajaran sifatnya relatif. Jangka waktu untuk satu siklus bergantung kepada materi yang dilaksanakan dengan cara tertentu. Mungkin materi yang diajarkan hanya satu pokok bahasan, tetapi cukup luas sehingga memerlukan waktu beberapa kali pertemuan. Refleksi dapat dilakukan apabila peneliti merasa sudah mantap mendapat pengalaman, dalam arti sudah memperoleh informasi yang perlu untuk memperbaiki cara yang telah dicoba. Mungkin saja peneliti menentukan untuk mengadakan pertemuan tiga sampai lima kali sehingga siswa sudah dapat merasakan proses dan hasilnya. Demikian pula pengamat sudah memperoleh informasi yang dirasakan cukup dan mantap sebagai masukan yang berarti sebagai untuk mengadakan perbaikan bagi siklus berikutnya.
Apabila sudah diketahui letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang baru selesai dilaksanakan dalam satu siklus, guru pelaksana (bersama peneliti pengamat) menentukan rancangan untuk siklus kedua. Apakah guru tersebut akan mengulangi kesuksesan untuk meyakinkan atau menguatkan hasil, atau akan memperbaiki langkah terhadap hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus pertama? Hasil keputusan tersebut dijadikan rancangan untuk tindakan siklus kedua. Setelah menyusun rancangan untuk siklus kedua, guru dapat melanjutkan ke tahap 2, 3, dan 4, seperti yang terjadi dalam siklus pertama. Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan guru belum merasa puas, guru dapat melanjutkan ke siklus ketiga, yang cara dan tahapannya sama dengan siklus sebelumnya.
Selanjutnya, jika guru masih belum puas dengan hasil siklus tersebut dan masih ingin melanjutkan pada siklus ke-4 akan sangat dihargai. Namun,  apabila mau berhenti, juga sudah memadai karena sudah lebih dari dua siklus. Hal penting yang harus mendapatkan perhatian bagi peneliti karena menjadi fokus penilaian adalah bahwa perencanaan siklus lanjutan harus didasarkan kepada hasil refleksi siklus sebelumnya.
Bagi peneliti pemula, sangat disarankan untuk melakukan penelitian kolaborasi, yaitu penelitian yang dilakukan bersama-sama atau berpasangan. Jika guru menginginkan model seperti ini, guru dapat menentukan (1) teman yang sama mata pelajaran, tetapi berbeda kelas; (2) teman satu sekolah berbeda kelas, tetapi mata pelajarannya mirip; (3) teman mana saja asal saling memahami metode satu dan lainnya.

3.7  Konsep Siklus pada Kegiatan PTK
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya PTK terdiri atas rangkaian empat kegiatan yang dilákukan dalam siklus berulang. Empat kegiatan utama yang ada pada setiap siklus, yaitu (a) perencanaan, (b) tindakan, (c) pengamatan, dan (d) refleksi yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Pelaksanaan PTK dimulai dengan siklus pertama yang terdiri dan empat kegiatan. Apabila sudah diketahui letak keberhasilan dan hambatan dan tindakan yang dilaksanakan pada siklus pertama tersebut, guru (bersama peneliti, apabila PTK-nya tidak dilakukan sendiri oleh guru) menentukan rancangan untuk siklus kedua.
Kegiatan pada siklus kedua dapat berupa kegiatan yang sama dengan kegiatan sebelumnya apabila ditujukan untuk mengulangi kesuksesan atau untuk meyakinkan/menguatkan hasil. Akan tetapi, umumnya kegiatan yang dilakukan pada siklus kedua mempunyai berbagai tambahan perbaikan dan tindakan terdahulu yang tentu saja ditujukan untuk memperbaiki berbagai hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus pertama.
Dengan menyusun rancangan untuk siklus kedua, guru dapat melanjutkan dengan tahap-tahap kegiatan seperti pada siklus pertama. Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan guru belum merasa puas, guru dapat melanjutkan dengan siklus ketiga, yang cara dan tahapannya sama dengan siklus sebelumnya. Tidak ada ketentuan tentang berapa kali siklus harus dilakukan. Banyaknya siklus tergantung dari kepuasan peneliti sendiri, namun ada saran, sebaiknya tidak kurang dari dua siklus.

DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsimi dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

AR, Syamsuddin dan Damaianti, Vismaia S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan
            Bahasa. Bandung; PT. Rosda Karya.

Depdiknas Dirjen PMPTK. 2007. Menyusun Usulan Penelitian Tindakan Kelas TOT Block Grand PTK. Jakarta: Depdiknas

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2001. “Pedoman Teknis Pelaksanaan Classroom Action Research (CAR)” dalam Pelangi Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Tahun 2004.

Gay, L. R. 1983. Educational Research Competencies for Analysis & Application.
            Ohio: A Bell & Howell Company.

Kamil, M. L. 2000. Handbook of Reading Research. London: LEA
.
Kepetusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 025/0/199

Suhardjono dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.  

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Miles, Matthew B., Huberman, Michael A. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sour-
            Ceebook of New Methods. London: Beverly Hill.
           
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.




LAMPIRAN 1.
CONTOH PROPOSAL PTK

JUDUL PENELITIAN

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS SISWA KELAS V SD MELALUI PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS
MULTIPLE INTELEGENCES

(Teuku Alamsyah dan Muhammad Iqbal)
                                            
                           

1. Latar Belakang Masalah
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran  pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional (Nurhadi dkk., 2004:1).           Dalam konteks pembaruan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas yang lebih dapat memberdayakan potensi siswa. Ketiga hal itulah yang saat ini menjadi fokus pembaruan pendidikan di Indonesia.   Berkenaan dengan penerapan atau pemilihan strategi pembelajaran, sebagai seorang guru, pertanyaan-pertanyaan berikut ini kiranya menarik untuk disimak (1) apakah Anda mengenal dengan baik siswa Anda? (2) Apakah di kelas Anda ada siswa yang bisa menciptakan seni visual yang indah? (3) Adakah yang mahir di bidang olahraga? (4) Adakah yang mampu memainkan alat musik yang dapat menyentuh perasaan? (5) Apakah Anda tergetar dengan ketelitian matematis siswa Anda? (6) Adakah di kelas Anda siswa yang paling cerdas dan siswa yang sangat tidak cerdas? (7) Adakah siswa Anda yang suka membaca cerita, menulis puisi, dan mengembangkan bakat mereka dalam menulis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang sulit untuk terjawab karena setiap siswa memiliki keunikan, dan kecerdasan mereka berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda. Setiap siswa memang unik dan secara individual menawarkan kontribusi yang berharga bagi kebudayaan manusia (Campbell, Campbell, dan Dickinson, 2006:1). Sebagai seorang guru, kita diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang siswa di kelas kita. Dengan demikian, tugas seorang gurulah mengarahkan siswa ke arah perkembangan yang optimal.
Gardner (1983) sebagai pencetus Theory of Multiple Intelegence menyatakan bahwa kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan tempat seseorang dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia. Gardner (dalam Campbell, Campbell, dan Dickinson,  2006:2-3) mendeskripsikan tujuh kecerdasan manusia, yaitu: (1) kecerdasan linguistik (linguistic intelegence), (2) kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelegence), (3) kecerdasan spasial (spatial intelegence), (4) kecerdasan kinestetik-tubuh (bodly-kinesthetic intelegence), (5) kecerdasan musik (musical intelegence), (6) kecerdasan interpersonal (interpersonal intelegence), dan (7) kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelegence).
Pemahaman seorang guru terhadap ketujuh jenis kecerdasan ini sangatlah penting. Dengan pemahaman ini guru memiliki pengetahuan yang memadai tentang karakteristik siswanya. Lebih lanjut tentunya guru akan dapat memperlakukan siswanya sebagaimana seharusnya. Guru akan dapat lebih mengarahkan setiap siswa sesuai dengan bakat kecerdasan yang dimilikinya. Seorang siswa yang lemah dalam bidang matematika  umpamanya, tidak akan selalu berarti bahwa siswa yang bersangkutan juga lemah dalam bidang-bidang yang lain. Di sinilah pentingnya seorang guru mengenal setiap siswanya dengan baik sehingga dapat memberikan layanan pendidikan secara optimal.
Pengalaman Bruce Campbell berikut ini dapat dijadikan teladan oleh para guru dalam pembelajaran. Bruce Campbell telah menerapkan teori Gardner pada Sekolah Dasar tingkat III/IV/V, dan kelas berbagai usia selama enam tahun. Model pembelajaran ini melibatkan tujuh pusat pembelajaran, masing-masing melibatkan salah satu kecerdasan. Para siswa menghabiskan sekitar dua pertiga hari sekolah mereka. Di pagi hari dimulai dengan ceramah singkat dan diskusi tentang tema kelas yang baru. Para siswa dibagi menjadi tujuh kelompok untuk memulai kegiatan mereka, dengan menghabiskan sekitar 25 menit untuk setiap bidang kegiatannya. Hari yang ketiga yang terakhir, mereka mengerjakan proyek mandiri atas pilihan mereka dan membagi pekerjaan mereka dengan teman sekelas.
Sekali lagi, penerapan ide-ide Gardner terhadap siswa-siswa Bruce tidak hanya menghasilkan skor tes yang lebih tinggi, tetapi juga peningkatan area yang lain di dalam kehidupan anak-anak. Selama setahun, Bruce melaksanakan proyek penelitian (Action Research Project) dan bebagai upaya model kurikuler ini telah didokumentasikan: para siswa menemukan area kekuatan mereka yang berbeda dan dapat menerapkan bermacam kecerdasan dalam kegiatan kelas. Permasalahan perilaku menjadi berkurang, konsep diri menjadi meningkat, keterampilan bekerja sama dan kepemimpinan menjadi berkembang, dan yang terpenting kecintaan anak-anak untuk belajar menjadi bertambah.
Pengalaman Bruce tersebut akan diupayakan diterapkan dalam penelitian ini dalam bentuk action research berkolaborasi dengan guru kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh, tempat penelitian ini akan dilaksanakan. Jenis multiple intelegence yang akan diterapkan adalah kecerdasan linguistik dalam bentuk verbal-linguistik. Penerapan strategi pembelajaran multiple intelegence yang berkenaan dengan linguistic intelegence ini diharapkan dapat meningkatkan hasil pembelajaran bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis pada siswa kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh. Selain itu, dari hasil penelitian ini diharapkan juga dapat terdata siswa-siswa yang memiliki bakat kecerdasan linguistik yang selanjutnya dapat dibina dan diarahkan agar siswa yang bersangkutan dapat mengembangkan bakatnya atau kecerdasannya secara maksimal. Dengan demikian, pembelajaran yang berlangsung setiap hari di kelas bukanlah sebuah rutinitas, melainkan sebuah tempat yang memberikan makna tersendiri bagi masa depan peserta didik.
 Dalam konteks tersebut, peran guru tidak dapat diabaikan. Mampukah seorang guru melihat dan mencermati hal-hal yang demikian? Diyakini semua guru memiliki kemampuan itu dengan catatan: mengajar bukanlah penyelesaian sebuah tugas. Dalam kata mengajar mestinya terkandung makna pembelajaran dan juga pendidikan. Artinya, tugas guru adalah melaksanakan pembelajaran sekaligus melakukan kegiatan mendidik.    
 Sehubungan dengan profesi guru, menarik untuk disimak pernyataan (Djoyonegoro dalam Mulyasa, 2006: 3) bahwa hanya 43% guru pada berbagai jenjang pendidikan yang memenuhi kualifikasi sebagai guru yang profesional. Artinya, sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Menyikapi pernyataan tersebut tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan kita masih jauh dari harapan dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.  
            Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya sebagai kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan di Sekolah Dasar, pemerintah telah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal sebagai Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai dengan 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti dan yang lainnya merupakan sekolah imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah.
            Salah satu komponen yang sangat menentukan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah komponen guru dengan segala kinerjanya.  Guru memegang peranan penting dalam suatu proses pembelajaran termasuk dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum (Syaodih dalam Mulyasa, 2006). Proses pembelajaran sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru. Sebagai suatu sistem kegiatan, proses pembelajaran melibatkan guru mulai dari pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar. Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang  memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan diupayakan melalui peningkatan mutu guru. Selengkap apa pun prasarana dan sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang memadai, prasarana dan sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah.
Terdapat berbagai macam alternatif strategi pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Strategi-strategi yang dimaksud antara lain: aktive learning, cooperative learning, problem solving, direct instruction, small group work, problem based instruction, discovery, dan yang dapat dipandang sebagai salah satu strategi pembelajaran mutakhir adalah strategi pembelajaran yang ditawarkan oleh Gardner, yaitu multiple intelegence. Strategi pembelajaran yang disebut terakhir inilah yang akan diterapkan dalam penelitian ini khususnya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, aspek menulis, pada siswa Sekolah Dasar.

2. Rumusan  Masalah
            Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1)      Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis yang diterapkan oleh guru kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
2)      Bagaimanakah gambaran awal kemampuan menulis siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
3)      Bagaimanakah proses pembelajaran menulis dengan penerapan strategi multiple Intelegence: linguistic intelegence pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
4)      Bagaimanakah hasil pembelajaran menulis dengan penerapan strategi multiple intelegence: linguistic intelegence pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh?
5)      Berapa persenkah siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh yang memiliki bakat linguistic intelegence?   

3. Tujuan Penelitian
            Sejalan dengan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1)      Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia aspek keterampilan menulis  yang diterapkan oleh guru kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
2)      Mendeskripsikan gambaran awal kemampuan menulis siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
3)      Menerapkan strategi multiple Intelegence: linguistic intelegence dalam pembelajaran menulis pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
4)      Mendeskripsikan hasil pembelajaran menulis dengan penerapan strategi multiple intelegence: linguistic intelegence pada siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh.
5)      Mendapatkan data jumlah siswa kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh yang memiliki bakat linguistic intelegence.   






4. TINJAUAN PUSTAKA

4.1  Konsep Multiple Intelegences
Multiple intelegences mengacu pada sebuah teori kecerdasan yang dikembangkan pertengahan tahun 1980-an oleh Howard Gardner, seorang profesor dalam bidang pendidikan di Universitas Harvard. Setiap orang memiliki kesemua kecerdasan ini dengan proposi yang berbeda-beda.
Gardner pada awalnya menemukan tujuh macam kecerdasan.
1)      bahasa
2)     logika/matematika
3)     musik/irama
4)     visual/ruang
5)     fisik/gerak
6)     hubungan antarmanusia
7)      hubungan dengan diri sendiri
Guru yang menggunakan teori multiple intellegences akan berusaha keras untuk menyajikan pelajaran dengan berbagai macam cara, seperti menggunakan bahasa, angka-angka, objek fisik yang ada di sekeliling, bunyi, badan dan juga keterampilan sosial.

1.      Tujuh Kecedasan Manusia menurut  Multiple Intellegences
1)      Kecerdasan Bahasa (Verbal/Linguistic Intelegence)
Kemampuan untuk menggunakan kata-kata atau bahasa. Pembelajar seperti ini memiliki kemampuan mendengarkan (auditory) yang sudah berkembang dengan baik dan biasanya merupakan pembicara yang baik. Mereka berpikir dengan kata-kata dan bukan dengan gambar.
Keterampilan mereka termasuk: menyimak, berbicara, menulis, bercerita, menjelaskan, mengajar, menggunakan humor, memahami struktur kalimat dan makna kata, mengigat informasi, meyakinkan seseorang tentang sudut pandang mereka, menganalisa bahasa dari segi penggunaannya.
Pilihan karir yang memungkinkan: pujanga, wartawan, penulis, guru, ahli hukum, politikus, dan penerjemah.

2) Kecerdasan Logika/Matematika (Logical/mathematical Intelegence)
Kemampuan untuk menggunakan alasan, logika, dan angka-angka. Pembelajar tipe ini berpikir secara konseptual dalam pola logika dan angka-angka, membuat kaitan antara potongan-potongan informasi. Selalu ingin tahu tentang dunia di sekeliling mereka, pembelajar seperti ini banyak bertanya dan senang melakukan eksperimen.
Keterampilan mereka adalah: memecahkan masalah, mengklasifikasikan sesuatu dan mengelompokkan informasi, bekerja dengan konsep abstrak untuk mengetahui hubungan yang ada antara satu dengan lainnya, behubungan dengan serangkaian alasan untuk membuat analisa yang logis, melakukan eksperimen terkontrol, mempertanyakan kejadian-kejadian alam, mengerjakan perhitungan matematika yang rumit, serta bekerja dengan bentuk-bentuk geometris. Kemungkinan pilihan karir: ilmuan, insinyur, pembuat program komputer, peneliti, akuntan, dan geometris.

3) Kecerdasan Musik/ Irama (Musical/ Rhythmic Intelligence)
Kemampuan untuk memainkan, mengapresiasi, dan menghasilkan. Pembelajar yang memiliki kecenderungan musik ini berpikir dalam bunyi-bunyi, irama, dan pola-pola. Mereka dengan segera merespon musik, apakah mengapresiasi atau mengkritik apa yang mereka dengar. Banyak di antara pembelajar tipe ini sensitif terhadap bunyi-bunyi di lingkungan sekitarnya (misalkan bunyi jangkrik, bel, atau air menetes dari kran. Kemampuan mereka termasuk: bernyanyi, bersiul, bermain alat musik, mengenali pola nada, membuat komposisi musik, mengingat melodi, memahami struktur, dan ritme musik. Jalur karir yang mungkin: musisi, disc jockey, penyanyi, kompesor.

4) Kecerdasan Visual/Ruang (Visual/Spatial Intelligence)
Untuk memperhatikan apa yang terlihat, pembelajar seperti ini cenderung berpikir dalam gambar dan menciptakan bayangan yang jelas untuk menyimpan informasi. Mereka suka melihat peta, bagan, gambar, video, dan film.
Keterampilan mereka adalah: mengaitkan potongan-potongan gambar, membaca, menulis, memahami tabel dan grafik, menentukan arah, membuat sketsa, melukis, menciptakan metafora visual, dan analogi (mungkin dengan tampilan gambar), memanipulasi bayangan, memperbaiki sesuatu, merancang barang yang praktis, dan menafsirkan gambar. Pilihan karir yang memungkinkan: navigator, pemahat, seniman(visual), penemu, arsitek, desainer interior, mekanik, insinyur.

5) Kecerdasan Fisik/Gerak (Bodily/Kinesthetic Intelligence)
Kemampuan untuk mengatur gerak tubuh dan menangani benda-benda dengan ahli. Pembelajar seperti ini mengekspresikan dirinya melalui gerakan. Mereka memiliki kemampuan alami dalam hal keseimbangan serta koordinasi mata dan tangan (misalkan, menyeimbangkan palang-palang). Dengan berinteraksi dengan ruang di sekitar mereka dan melakukan sesuatu kegiatan, mereka mampu mengingat dan memproses informasi.
Keterampilan mereka termasuk: menari, koordinasi fisik, olahraga, eksperimen praktis, menggunakan bahasa tubuh, kerajinan tangan, akting, berpantonim, menggunakan tangan untuk menciptakan emosi ke seluruh tubuh. Pilihan karir yang memungkinkan: Atlet, guru olahraga, penari, pemain film, petugas pemadam kebakaran, pekerja seni.
  
6) Kecerdasan Hubungan Antarmanusia (Interpersonal Intelligence)
Pembelajar seperti ini berusaha untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang orang lain agar ia bisa memahami bagaimana mereka berpikir dan merasakan. Mereka terkadang memiliki kemampuan yang sulit untuk dijelaskan misalkan kemampuan untuk merasakan perasaan, maksud, dan motivasi. Mereka merupakan seorang yang mampu mengorganisir dengan baik, meskipun terkadang mereka menggunakan manipulasi. Pada umumnya mereka berusaha untuk mempertahankan kedamaian dalam setting kelompok dan mendorong pertanian. Mereka menggunakan bahasa baik verbal (misalkan berbicara) maupun nonverbal (misalkan kontak mata, bahasa tubuh) untuk membuka kesempatan komunikasi dengan baik.
Keterampilan mereka adalah: melihat segala sesuatu dari perspektif lain, menyimak, menggunakan empati, memahami perasaan orang lain, memberikan bimbingan, bekerja sama dengan kelompok, memperhatikan perasaan orang-orang, motivasi dan maksud, berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal, membangun kepercayaan, mengatasi konflik secara damai, mengembangkan hubungan positif dengan orang lain. Pilihan karir yang memungkinkan: penasehat, penjual, politikus, pebisnis.

7) Kecerdasan Hubungan Antarmanusia (Interpersonal Intelligence)
Kemampuan untuk melakukan refleksi atas diri sendiri dan menyadari keadaan dalam diri sendiri. Pembelajar seperti ini berusaha untuk memahami perasaan dalam diri mereka dan dalam hubungan dengan lainnya, dan kekuatannya dan kelemahannya.
Keterampilan mereka adalah: mengenali kekuatan dan kelemahan diri mereka sendiri, merefleksikan dan menganalisa diri mereka sendiri, kesadaran atas perasaan dalam mereka, mengevaluasi pola pikir, memberikan penjelasan bagi diri mereka sendiri serta memahami peran mereka dalam kaitannya dengan orang lain. Pilihan karir yang memungkinkan: peneliti, penemu teori, filsuf.

4.2  Sifat-sifat Intelegensi Verbal Linguistik
Di awal sejarah Negara (Amerika Serikat), di sekolah-sekolah Massachusetts Bay Colony, membaca dan menulis meliputi dua pertiga kurikulum. Dewasa ini kurikulum telah berkembang pesat. Akan tetapi, membaca dan menulis, sejalan dengan menyimak dan berbicara, tetap merupakan alat yang esensial dalam mempelajari semua pelajaran.
            Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para pelopor pendidikan: Lev Vygotsky, Susanne Langer, James Brimon, dan James Moffet (dalam Campbell, Campbell, dan Dickinson, 2006:12) terdata karakteristik-karakteristik kecerdasan verbal linguistik sebagai berikut.
1)      Mendengar dan merespon setiap suara, ritme, warna, dan berbagai ungkapan kata.
2)      Menirukan suara, bahasa, membaca, dan menulis dari orang lain.
3)      Belajar melalui menyimak, membaca, menulis, dan diskusi.
4)      Menyimak secara efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan, dan mengingat apa yang diucapkan.
5)      Membaca secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan atau menerangkan, dan mengingat apa yang telah dibaca.
6)      Berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar, berbagai tujuan, dan mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasif, atau bergairah pada waktu-waktu yang tepat.
7)      Menulis secara efektif, memahami, dan menerapkan aturan-aturan tata bahasa, ejaan tanda baca, dan menggunakan kosakata yang efektif.
8)      Memperlihatkan kemampuan untuk mempelajari bahasa lainnya.
9)      Menggunakan keterampilan menyimak, berbicara, menulis, dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan, mempengaruhi, mencipta- kan pengetahuan, menyusun makna, dan menggambarkan bahasa itu sendiri.
10)  Berusaha untuk mengingatkan pemakaian bahasanya sendiri.
11)  Menunjukkan minat dalam jurnalisme, puisi, bercerita, debat, berbicara, menulis atau menyunting.
12)  Menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau karya tulis orisinil atau komunikasi oral.    

4.3 Peningkatan Keterampilan Menulis Melalui Strategi Multiple Intelegence
            Keterampilan menulis pada dasarnya tidak terlepas dari tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu menyimak, berbicara, dan membaca (Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman, 1986; Weafer, 1992, dalam Santosa, 2004). Menulis didorong oleh kegiatan berbicara, membaca, dan menyimak. Menulis membawa ide-ide dari seseorang dengan tujuan dan makna yang berbeda. Siswa melalui bermacam kegiatan menulis, dapat mengembangkan perasaan audiens dan merasakan kegiatan menulis sebagai tindakan yang relevan yang terjadi di antara diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Britton (1970) menyarankan para guru tentang pembelajaran menulis sebagai berikut.
1)      Menulis secara mekanis
2)      Menulis untuk informasi
3)      Menulis untuk keperluan personal
4)      Menulis untuk pengembangan imajinasi
Keempat model pembelajaran menulis sebagaimana disebutkan tersebut memberi peranan besar untuk melatih dan mengembangkan kecerdasan verbal-linguistik.Di samping itu, untuk meningkatkan kecerdasan verbal-linguistik dalam mengungkapkan gagasan secara tertulis, terdapat tiga model lain yang juga disarankan untuk diterapkan oleh para guru dalam pembelajaran bahasa aspek keterampilan menulis di kelas, yaitu:
1)      Menuliskan dengan memanfaatkan musik/lagu.
2)      Menulis berdasarkan potret lingkungan.
3)      Menulis berdasarkan cerita rakyat yang didengar.
             
5. Manfaat Penelitian
            Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi sebagai berikut.
1)      Bagi guru, penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi sebagai salah satu alternatif pemilihan model atau strategi pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat terdata siswa-siswa yang memiliki bakat kecerdasan linguistik yang selanjutnya dapat dibina dan diarahkan agar siswa yang bersangkutan dapat mengembangkan bakatnya atau kecerdasannya secara maksimal.
2)      Bagi siswa, peningkatan keterampilan menulis melalui penerapan strategi pembelajaran multiple intelegences diharapkan dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih mengembangkan kecerdasannya. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menciptakan konsep kerja sama dan menumbuhkan kecintaan siswa untuk belajar.
3)      Bagi LPTK, sebagai lembaga yang mendidik calon guru, baik calon guru Sekolah Dasar maupun calon guru sekolah menengah atau sekolah lanjutan, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif model pembelajaran dalam pembekalan mahasiswa yang memprogramkan Matakuliah Pengajaran Mikro karena model pembelajaran multiple intelegences merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat efektif untuk diterapkan di sekolah. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi salah satu referensi Matakuliah Strategi Belajar-Mengajar.  


6. Metode Penelitian
1) Pendekatan Penelitian
            Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian tindakan kelas (action research). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Classroom Action Research (CAR), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan di kelas.  Kelas, dalam hal ini tidak terikat pada ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Kelas adalah sekelompok peserta didik yang sedang belajar.
PTK dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kela s. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dan bukan pada input kelas (silabus, materi, dll.) ataupun output (hasil belajar). PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas (Depdiknas Dirjen PMPTK,  2007). Hasil penelitian tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong sebagai penelitian kualitatif. Secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa penelitian ini (1) dilakukan pada setting alamiah, yaitu lingkungan kelas, (2) data penelitian lebih bersifat deskriptif dan data yang akan terkumpul berbentuk kata-kata sehingga tidak menekankan pada angka, (3) lebih mengarah pada proses daripada hasil, (4) analisis data dilakukan secara induktif, (5) peneliti merupakan instrumen kunci, dan (6) lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2005:10)

2) Tempat Penelitian
            Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Negeri 35 Kota Banda Aceh. Pemilihan SD Negeri 35 sebagai tempat penelitian ini didasarkan atas pertimbangan  bahwa SDN 35 merupakan salah satu SD inti. SD inti merupakan merupakan SD yang sudah mendapat pengakuan dari Depdiknas setempat sebagai SD yang dinilai baik dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, memiliki guru-guru yang berkompeten, administrasi yang teratur, dan fasilitas belajar-mengajar yang lengkap. Sekolah inti juga merupakan sekolah percontohan atau sekolah imbas bagi sekolah-sekolah lainnya.

3) Data dan Sumber Data
            Data penelitian ini adalah berupa perangkat pelaksanaan pembelajaran, konteks pembelajaran yang melibatkan guru dan siswa, fenomena kelas yang teramati dalam konteks pembelajaran, model-model pembelajaran menulis dengan strategi pembelajaran berbasis multiple intelegences  yang diterapkan, dan hasil pembelajaran menulis baik sebelum penerapan strategi pembelajaran berbasis multiples intelegences maupun setelah penerapan model pembelajaran kooperatif.
            Mengingat penelitian ini dilakukan secara kolaboratif, sumber data penelitian ini adalah peneliti, guru, dan siswa kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Di sisi lain, peneliti juga merupakan instrumen kunci (key instrument) dalam penelitian ini.

4) Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam tiga siklus.
Secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui pada setiap siklus, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Kegiatan pengumpulan data pada setiap siklus dapat digambarkan sebagai berikut.

(1) Siklus I
a) Perencanaan
  • Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara kolaboratif antara peneliti dan guru kelas V SDN 35 Kota Banda Aceh
  • Penyusunan instrumen tes awal
  • Penyiapan media pembelajaran, LKS, dan instrumen pendukung lainnya
untuk penerapan pembelajaran menulis dengan menggunakan musik/lagu
sebagai media rangsangan untuk menulis.
·         Kegiatan pembelajaran pada siklus ini meliputi: mendengarkan musik/lagu
melalui tape recorder kemudian siswa diminta mendata kosakata pada setiap
bait lagu untuk dibuat sinonim kata, antonim kata, dan menuliskan bagian lirik yang paling berkesan dalam lagu yang diperdengarkan.

 b) Pelaksanaan
      Tahap pelaksanaan dapat dikatakan tidak dapat dipisahkan dengan tahap
      pengamatan. Oleh karena itu, tahap pelaksanaan dan tahap pengamatan dilaku-
      kan secara bersamaan. Kegiatan penelitian pada tahap ini adalah sebagai
      berikut.
·         Melaksanakan tes awal dalam bentuk memperlihatkan sebuah gambar sebagai stimulus dan meminta setiap siswa menulis berdasarkan gambar yang diperlihatkan tersebut. Tes ini lebih dimaksudkan sebagai upaya pengenalan kemampuan siswa dalam menulis.
·         Memperdengarkan lagu melalui tape recorder kemudian meminta setiap siswa menuliskan kosakata-kosakata yang mereka ingat dari setiap bait  lagu. Langkah berikutnya adalah menuliskan sinonim kata dan antonim kata dari lagu setiap kosakata yang mereka data melalui lagu.
·         Setelah kegiatan menulis sinonim dan antonim kata selesai, kegiatan berikutnya adalah meminta setiap siswa menuliskan bagian dari bait lagu yang memberikan kesan mendalam baginya disertai dengan alasan-alasan yang logis.
·         Setiap data dalam proses kegiatan ini dicatat secara cermat dan didokumentasikan secara khusus sebagai bagian dari kegiatan pengamatan.     
        
c) Refleksi
              Refleksi dalam konteks PTK tidak lain adalah evaluasi. Setelah kegiatan pelaksanaan Jadi, satu siklus adalah dari tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain adalah evaluasi. Setelah kegiatan pelaksanaan dan pengamatan selesai, langkah berikutnya adalah melakukan tinjauan ulang terhadap keberhasilan dan kegagalan yang terjadi pada proses yang telah dilalui tersebut. Berdasarkan evaluasi atau refleksi itulah peneliti bersama guru mitra menyusun rancangan penelitian untuk siklus II. Rancangan penelitian pada siklus II sangat bergantung kepada data atau hasil yang didapat pada siklus I.

(2) Siklus II
            Pada siklus II ini peneliti merencanakan menerapkan strategi pembelajaran menulis dengan menggunakan potret lingkungan sekolah sebagai stimulus. Menulis pada tahap ini lebih mengarah pada menulis deskripsi laporan pandangan mata. Untuk maksud tersebut, peneliti menyiapkan sejumlah potret lingkungan sekolah dalam ukuran yang mudah teramati dan dikemas secara menarik. LKS sebagai panduan kerja siswa juga dipersiapkan secara matang. Tahap pada siklus II ini merupakan jenjang yang lebih tinggi daripada kegiatan menulis pada siklus I. Akan tetapi, perencanaan dan pelaksanaan penelitian pada siklus II ini sangat bergantung kepada hasil refleksi pada siklus I.

(3) Siklus III
            Rencana pelaksanaan tindakan yang dipersiapkan untuk siklus III adalah memperdengarkan cerita rakyat. Cerita rakyat yang dipilih adalah cerita rakyat yang dipandang dekat dengan lingkungan anak, yaitu salah satu cerita rakyat Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan mengikuti petunjuk LKS, siswa diminta menuliskan tema, penokohan, alur cerita, dan amanat. Bentuk tulisan yang diharapkan dihasilkan oleh siswa adalah tulisan yang dijalin dalam bentuk paragraf naratif. Siswa diminta berimajinasi menulis ulang cerita dengan mengemukakan tema cerita, penokohan, alur cerita, dan amanat cerita. Pada siklus ini juga diterapkan model menulis terbimbing. Namun, rencana pelaksanaan tindakan pada siklus III ini sangat bergantung kepada hasil refleksi siklus II.  Jadi, bentuk penelitian tindakan tidak pernah merupakan kegiatan tunggal, tetapi selalu harus berupa rangkaian kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus. 

5 ) Analisis Data
 (1) Analisis Data Kuantitatif
     Data penelitian ini terdiri atas data yang berbentuk angka-angka dan data yang
     berbentuk deskripsi kata-kata. Data yang berbentuk angka yang diperoleh dari
     hasil  tes (sesuai petunjuk LKS), diolah untuk mendapatkan nilai rata-rata (mean).
     Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data kuantitatif tersebut
     sebagaimana disarankan oleh Sudijono (2005:51) adalah sebagai berikut.
1)      Menentukan range
2)      Menentukan jumlah kelas
3)      Menentukan lebar kelas
4)      Menyusun table distribusi frekuensi
5)      Menghitung nilai rata-rata dengan rumus:                                           
                                                             FX
                                           X      =    ----------                                   
                                                              N
 Keterangan:        X      = skor rata-rata yang dicari
                             FX   =  hasil perkalian antara F dan X
                             N     =  jumlah subjek

(2) Analisis Data Kualitatif
            Terkait dengan data kualitatif  dapat dijelaskan bahwa analisis data dilakukan dengan cara menata secara sistematis hasil pengamatan dan tindakan di kelas sehingga diperoleh sebuah deskripsi data yang utuh dan runtut. Analisis data kualitatif terdiri atas (a) analisis selama pengumpulan data dan (b) analisis setelah masa pengumpulan data.
            Analisis data selama masa pengumpulan data dimaksudkan agar setiap temuan data tidak mudah terlupakan dan seandainya terdapat hal-hal yang kurang jelas bisa langsung dikonfirmasikan kembali dengan subjek penelitian. Selain itu, analisis ketika proses pengumpulan data dapat menghindari kemungkinan penumpukan data. Langkah-langkah analisis data pada masa pengumpulan data adalah sebagai berikut.
1)      Merekam secara tertulis proses atau interaksi pembelajaran yang berlangsung pada penerapan strategi menulis berbasis mulptiple intelegences pada setiap siklus.
2)      Menganalisis tanggapan guru dan siswa terhadap strategi pembelajaran yang diterapkan.
3)      Menganalisis semua tulisan siswa yang dihasilkan pada setiap siklus.
4)       Membuat dokumen portofolio.
5)      Melakukan triangulasi dengan narasumber, yaitu guru, siswa, anggota tim peneliti, dan teman sejawat.
6)      Melakukan pemilahan data sesuai dengan strategi pembelajaran yang diterapkan.
            Analisis data setelah masa pengumpulan data selesai mengikuti langkah-langkah berikut.
1)      Mempelajari kembali keseluruhan analisis yang dilakukan pada masa pengumpulan data.
2)      Melakukan penambahan, pengembangan, dan perbaikan-perbaikan terhadap analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
3)      Menyusun simpulan sementara.
4)      Melakukan pengkajian ulang terhadap keseluruhan hasil analisis dan triangulasi.
5)      Penarikan simpulan akhir.




DAFTAR PUSTAKA

Britton, J. 1970. Language and Learning. Harmondsworth, England: Penguin.

BSNP. 2006. Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: BSNP

Campbell, Linda. dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligence. Depok : Intuisi Press.

Gardner, H. 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. N.Y:
            Basic Books.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Dirjen PMPTK Depdiknas. 2002.  Pedoman Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdiknas.

Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif
            dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurhadi. dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UNM 2004.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.

Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.














LAMPIRAN 2.

CONTOH LAPORAN PTK

PENINGKATAN KEMAMPUAN APRESIASI PUISI MELALUI LAGU
SISWA SLTP NEGERI 4 KEPANJEN
MALANG, JAWA TIMUR

Misnatul Sakdiyah*

ABSTRAK

Rutinitas pembelajaran apresiasi puisi menyebabkan siswa jenuh tidak menyukai pembelajaran apresiasi puisi. Hal ini disebabkan guru cenderung mengajarkan apresiasi puisi secara sepotong-sepotong, dengan bahan pembelajaran yang kurang disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan siswa. Selain itu, guru juga tidak menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, dan tidak memadukan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dalam setiap kegiatan pembelajaran apresiasi puisi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peneliti mencoba menggunakan lagu sebagai alat dan bahan pembelajaran apresiasi puisi. Karena itu, permasalahan dalam penelitian ini adalah:”Dapatkah lagu digunakan sebagai alat apresiasi untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas II catur wulan pertama? “Pemilihan lagu sebagal alat pembelajaran apresiasi puisi disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan siswa.” Keterpaduan empat aspek keterampilan berbahasa terlihat pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Siswa aktif mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru dapat menciptakan suasana belajar yang santai. Antusiasme siswa terhadap kegiatan pembelajaran meningkat. Suasana santai dan menyenangkan berdampak pada hasil kegiatan belajar siswa yang menunjukan ketuntasan hingga 89%.


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam tujuan umum pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum 1994 GBPP mata pelajaran Bahasa Indanesia disebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra secara umum adalah agar siswa mampu menikmati, memahamii, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Dari tujuan umum tersebut, siswa diharapkan mampu menikmati, menghayati, memahami, dan menarik manfaat membaca karya-karya sastra.

* Dra. Misnatul Sakdiyah adalah guru SLTPN 4 Kepanjen, Malang
iowa Timur

 
Selain itu, di dalam rambu-rambu GBPP mata pelajaran Bahasa Indanesia yang berkaitan dengan pelajaran sastra antara lain disebutkan sebagai berikut. (1) Pembelajaran bahasa perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengajaran, antara dari dan yang mudah ke yang sukar, dan hal- hal yang dekat ke jauh, dan yang sederhana yang ke yang rumit, dan yang diketahui ke yang belum ketahui, dan dari yang konkret ke yang abstrak. (2) Pembelajaran sastra yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. (3) Pemilihan bahan sastra dikaitkan dengan tema. Seandainya guru memahami kesulitan dalam mendapatkan bahan sesuai dengan tema yang dipilih, maka bahan pembelajaran sastra boleh tidak sesuai dengan tema yang disajikan.
Pembelajaran sastra di kelas II SLTP bertujuan agar siswa mampu membaca karya sastra dengan penghayatan dan memahami berbagai cara pengungkapan perasaan dan gagasan dalam karya sastra. Terkait dengan itu, didalam butir pembelajaran kelas II caturwulan pertama terdapat butir pembelajaran tentang pembelajaran puisi. Butir pembelajaran tentang puisi tersebut adalah sebagai berikut;
(1) membaca puisi, kemudian mendeklamasikan atau melagukan, (2) menuliskan pengalaman pribadi yang paling menarik dalam bentuk puisi. Selanjutnya, dua butir tujuan pembelajaran kelas II caturwulan pertama ini merupakan tujuan dalam kegiatan belajar mengajar penelitian tindakan kelas ini.
Pembelajaran apresiasi puisi yang diajarkan di SLTP mulai kelas I, II dan Ill merupakan salah satu materi pembelajaran sastra yang lebih sulit dan banyak menimbulkan masalah daripada apresiasi karya sastra lainnya (prosa). Pembelajaran apresiasi puisi yang seharusnya dapat sangat rnenyenangkan ternyata membosankan dan sekaligus menakutkan, baik bagi guru maupun siswa. Guru yang cenderung mengajarkan apresiasi puisi secara sepotong-sepotong, dengan bahan yang kurang disesuaikan dengan minat dan tingkat perkernbangan siswa, serta menggunakan pendekatan yang tidak dipadukan dengan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) akan menyebabkan siswa tidak terkondisi untuk menyukai pembelajaran apresiasi puisi.
Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indanesia seringkali berada dalam suasana rutinitas sehingga menimbulkan rasa bosan dan jenuh. Kandisi pembelajaran seperti itu sulit memenuhi pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. Sebagai dinamisator, guru perlu menciptakan suasana belajar yang kandusif, mampu membangkitkan motivasi belajar, mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa. Kandisi itu dapat diciptakan guru antara lain dengan memilih dan memvariasikan penggunaan metode, dan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang dikembangkan. Di samping itu, pemilihan materi pembelajaran yang aktual dan sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa akan sangat mempengaruhi kandisi pembelajaran tersebut.
Siswa SLTP kelas II caturwulan pertama sebagian besar mengalami kesulitan dalam pembelajaran apresiasi puisi. Hal itu disebabkan: (1) pendekatan dan metode pembelajaran apresiasi puisi yang diterapkan oleh guru manaton (tidakvoriatif) dan didominasi oleh pendekatan struktur bukan humanistik, (2) bahan pembelajaran apresiasi puisi yang dipilih guru kurang variatif dan kurang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa (kurang sesuai dengan prinsip dari mudah ke sukar, atau dari sederhana ke kompleks), dan (3) siswa terkondisi dalam situasi pembelajaran yang terindoktrinasi, kurang “bebas terarah” sehingga mereka kurang berkesempatan mengekspresikan kemampuan apresiasmya secara maksimal.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut, disajikan pembelajaran apresiasi puisi pada siswa dalam menggunakan siswa dengan menggunakan lagu (syair lagu) sebagai alat apresiasi. Selanjutnya dalam kegiatan pembelajaran itu diharapkan pembelajaran secara terpadu dengan empat ospek keterampilan berbahasa. Sedari itu, suasana pembelajaran yang menyenangkan dapat terkondisi dalam kegiatan pembelajaran apresiasi puisi dengan menggunakan lagu.


B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah: “Bagaimanakah lagu diterapkán sebagai alat apresiasi untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas Il caturwulan pertama?“



C. Tujuan Penelitian
1)      Tujuan Umum
      Tujuan umum penetitian tindakan kelas mi adalah untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas II caturwulan pertama dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi.
2)      Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum pada subbob sebelumnya, dopaf dirmci tujuan khusus sebagai berikut:
a)      Menyajikan pembelajaran apresiasi puisi pada siswa SLTP kelas II caturwulan pertama dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi.
b)      Menerapkan pembelajaran apresiasi puisi tersebut secara terpadu dengan empat aspek keterampilan berbahasa dengan menggunakan lagu sebagal alat apresiasi.
c)      Mengondisikan siswa dalam suasana pembelajaran yang “bebas” dan menyenangkan sehingga mereka antusias dalam belajar.


D. Manfaat Penelitian
1)      Manfaat Umum
Manfaat umum dalam penelitian tindakan kelas ini adalah agar guru dapat menyajikan pembelajaran apresiasi puisi dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi secara tenpadu dengan empaf aspek keterampilan berbahasa.
2)      Manfaat Khusus
Sesuai dengan manfaat umum tersebut dapat dipilah beberapa manfaat khusus sebagai berikut:
a)      Guru dapat meningkatkan kemampuan apresiasi puisi siswa SLTP kelas II caturwulan pertama dengan menggunakan lagu sebagai alat apresiasi yang diintegrasikan dengan empat aspek keterampilan berbahasa.
b)      Siswa dapat mengembangkan kemampuan aparesiasi puisinya sehingga dapat memetik manfaat dan hasil apresiasi puisi tersebut.
c)      Siswa dapat mengapresiasikan kemampuan apresiasinya terhadap puisi secara bebas sesuai dengan tingkat pengalaman, pengetahuan, dan daya kreasinya.

II. KAJIAN TEORI
A. Lagu sebagai Alat Apresiasi Puisi
Kemampuan apresiasi puisi siswa terlebih dahulu diawali dengan memahami makna yang terkandung dalam puisi. Setelah itu siswa dapat memahami isi puisi dengan kemampuan kognisinya. Selain  itu, afeksi siswa terlihat pada pemahaman siswa saat mengapresiasikan puisi, yakni dengan cara menghayati dan menikmati keindahan puisi tersebut.
Dalam pembelajaran sastra, keterpaduan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis) harus disajikan dalam porsi yang seimbang. Keterpaduan ketrampilan berbahasa dalam pembelajaran apresiasi puisi dengan lagu sebagai alat dan bahan pembelajaran adalah sebagai berikut.

Menyimak (lagu) ==> Benbicara (berdiskusi) ==> Menulis ==> Membaca ==> Mendengarkan ==> Berbicoro (berkomentar).

Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran apresiasi puisi adalah dengan pemilihan bahan pembelajaran yang digemari siswa. Salah satu bahan puitis yang banyak digemarl siswa adalah lagu. Sekarang ini banyak lagu yang syairnya puitis yang beredan di masyarakat dan digemari oleh siswa. Lagu dapat dipakai sebagai alat dan bahan pembelajaran apresiasi puisi. Tentu saja lagu tersebut harus disesuaikan dengan minat dan tingkat perkembangan siswa.
Secara material, lagu memiliki ‘tema’ yang berhubungan dengan kehidupan manusia (Maley, 1987). Tema tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan pembelajaran. Dengan demikian, penelitian lagu sebagai bahan pembelajaran dapat disesuaikan dengan tema yang ada dalam GBPP Selain itu, lagu juga dapat digunakan sebagi sumber belajar.
Bernyanyi merupakan suatu kegiatan mengungkapkan pikiran kritis dan perasaan melaui nada dan kata-kata yang terpilih (Jamalus, 1988). Dengan demikian, nyanyian dapat dijadikan sarana pembelajaran bahasa dan dapat digunakan untuk mengembangkan motivasi, pengalaman, dan pengetahuan. Pernyataan tersebut didasarkan pada hakikat nyanyian atau lagu sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman, pengetahuan, perasaan batin, dan sikap atau pandangan hidup, memberikan dorongan dan lain sebagainya.
Secara umum, bernyanyi bagi anak-anak lebih berfungsi sebagai aktifitas bermain daripada sebagai aktifitas pembelajaran atau penyampaian pesan. Whitermgton (1984) menjelaskan bahwa pada dasarnya aktifitas bermain digunakan anak-kanak untuk mengembangkan dan mengkreasikan potensi diri yang dimiliknya, walaupun anak tersebut tidak menyadari.
Sedari itu, Kartono (1982) menegaskan bahwa bermain bagi anak di samping memiliki sifat kataris, juga dapat menjadi alat pendidikan yang tepat. Pernyataan itu bertolak dari hakikat bermain itu sendiri, yakni dapat memberikan kepuasan, kegembiraan, dan kebahagian. Beranalogi dari sifat bermain tersebut, bernyanyipun demikian pula. Bernyanyi memiliki sifaf kataris dan dapat digunakan sebagai alat pendidikan. Selain itu, bernyanyi dapat memberikan kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi anak-anak. Menegaskan pendapat tersebut, menurut Jamalus dan Fatima (1984) musik merupakan seni yang mampu mengungkapkan nuansa kehidupan seperti: kegembiraan, kesedihan, kepahlawanan, kemesraan dan sebagainya. Di dalam musik dan nyanyian itu tersimpan daya kataris yang mampu membentuk sikap dan mengembangkan daya pikirn anak-anak.
Hasil penelitian Murphey (1990) membuktikan bahwa anak-anak sangat menyukai nyanyian. Mereka senang mempelajari, cepat menguasai, dan mudah mempraktekkannya. Jordan dan Mackay (dalam Murphey, 1990) menegaskan bahwa pada usia 8-13 tahun anak senang menyanyi. Jika apa yang disenangi tersebut dapat dimanfaatkan, maka dapat memperluas pengalaman, pembentukan sikap, keberanian, dan kebiasaan memberikan peluang untuk membentuk ketrampilan berbahasa.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan o!eh beberapa peneliti, yakni: Chenfeld (1978); Dobson (dalam Pratiwi, 1984); Hoffer (1984); Maley (1987); Murphey (1990); Levin (dalam Simbiak, 1 993); Orlova (1997); dan Rahayu (2000) dapat disimpulkan manfaat penggunaan lagu sebagai bahan pembelajaran adalah untuk menghilangkan kejenuhan belajar, menciptakan suasana santai, dan dapat memberikan kesenanangan kepada pembelajar. Selain itu, dari segi akademik, penggunaan lagu dalam kegiatan belajar bahasa dapat meningkatkan penguasaan kosakata, makna kata, kemampuan apresiasi, dan meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai perasaan.

III. PEMBAHASAN
A. Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi Siswa MelaIui Lagu Sebagai Alat
    Apresiasi

Dalam penelitian tindakan kelas ini,  guru sebagai peneliti sekaligus yang melakukan tindakan di dalam kelas. Kolaborator dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran bahasa Indonesia dan siswa tempat diadakannya penelitian. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dirumuskan dirancang dalam bentuk siklus. Banyaknya siklus yang direncanakan adalah dua siklus. Satu siklus terdiri atas dua pertemuan, masing-masing dua jam pelajaran. Tujuan pembelajaran pada pertemuan pertama adalah: “membaca puisi, kemudian mendeklamasikan, atau melagukannya.” Tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada pertemuan kedua adalah: “menuliskan pengalaman pribadi dalam bentuk puisi.”
Jenis data dalam penelitian ini adalah data verbal dan data nonverbal. Data verbal berupa hasil tes tulis siswa, yakni menganalisis syair lagu dan menulis pengalaman pribadi dalam bentuk puisi. Selanjutnya, data nonverbal adalah antusiasme siswa saat mengikuti proses pembelajaran dan mengapresiasikan siswa terhadap syair lagu dengan cara membacakan, mendeklamasikan, dan/atau melagukan syair lagu tersebut. Data verbal dan nonverbal diperoleh dengan menggunakan tes dan nontes. Tes dilakukan diawal kegiatan pembelajaran (pretes) dan diakhir kegiatan pembelajaran (postes). Tes yang diberikan kepada siswa adalah tes tulis. Teknik nontes dilaksanakan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Fungsi nontes mi adalah untuk mengukur kemampuan siswa dalam mengapresiasikan syair lagu bewat cara siswa membacakan, mendeklamasikan, dan/atau melagukan syair lagu tersebut. Selain itu, teknik nontes ini juga digunakan untuk mengetahui antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran nonverbal.
Penelitian tindakan kelas ini menggunakan dua macam instrumen penjaring            data. Instrumen penjaring data tersebut adalah: (1) tes, dan (2) nontes. Instrumen tes berupa penilaian hasil belajar siswa terhadap syair lagu (puisi) yang harus diapresiasmya. Instrumen non-tes berupa: (a) pedoman observasi, (b) pedoman wawancara untuk guru, (c) pedoman wawancara untuk siswa, serta (d) kuesioner untuk siswa. Instrumen non-tes tersebut dapat dilengkapai dengan data permasalahan yang timbul pada saat KBM berlangsung, keoptimalan komunikasi dan interaksi KBM, pendapat dan komentor guru dan/atau siswa tenhada KBM.
Lagu yang dipakai sebagai alat dan bahan untuk kegiatan, pembelajaran apresiasi adalah bagu yang sesuai dengan minat dan tingkat perkembangan siswa. Sedari itu, guru juga dapat mengaitkannya dengan tema pembelajaran saat itu. Tema pembelajaran dalam penelitian ini adalah: “Kelautan/lingkungan”. Untuk itu, guru/peneliti memilih lagu yang berjudul: ‘Burung Camar” yang dinyanyikan oleh Vina Panduwinata. Sebelum kegiatan pembelajaran berlangsung, guru sudah menugasi siswa secara berkelompok untuk mendengarkan lagu yang mereka sukai di rumah. Mereka ditugasi untuk menuliskan syair lagu yang mereka dengarkan, memaknai kata sulit tiap larik/bait dalam lagu, mengomentari isi dan bahasa syair lagu. Selanjutnya tugas tersebut dipresertasikan pada awal kegaitan pembelajaran. Dalam hal ini dipilih secara acak oleh guru, misalnya dipilih lagu yang berkaitan dengan tema lingkungan/alam.
Pada kegiatan ini, guru memperdengarkan lagu: “Burung Camar”, dan siswa mendengarkannya sambil melengkapi kata-kata rumpang dalam syair lagu yang terdapat dalam LKS yang telah dibagikan kepada mereka. Setelah itu, untuk mencocokkan hasil kegiatan mendengarkan itu, siswa menukarkan hasilnya dengan siswa lain, dan guru memperdengarkan kembali lagu tersebut. Kegiatan ini dilanjutkan dengan tugas berikutnya dalam LKS, yakni: (a) menjelaskan maksud tiap bait dalam lagu, (b) memarafrase, (c) mengomentari bahasa dan isi syair lagu, dan (d) membacakan/mendeklamasikan syair lagu.
Kegiatan berlangsung santai, menyenangkan, dan siswa merasa tidak tertekan. Guru dapat melihat antusiasme siswa saat KBM berlangsung. Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan hasil yang memuaskan. Untuk mengakhiri kegiatan pembelajaran ini, guru bersama siswa menyanyikan lagu “Burung Camar” yang diiringi/diselingi dengan pembacaan syair lagu tersebut oleh beberapa siswa yang ditunjuk secara acak.
Pada pertemuan II, untuk membangkitkan daya imajinasi siswa tentang lingkungan/alam, guru tetap menggunakan lagu sebagai kegiatan pendahuluan. Lagu yang diperdengarkan guru adalah lagu-lagu yang bertemakan lingkungan/alam, misalnya: “Berita Kepada Kawan” oleh Ebit.G.Ade, “Berita Cuaca” ciptaan Gombloh yang dinyanyikan oleh: Boomerang.
Siswa diajak membayangkan suasana alam atau lingkungan yang ada dalam syair lagu. Selain itu, guru menggunakan alat peraga yang berupa gambar tentang alam atau lingkungan dan siswa mengomentari gambar tersebut. Kegiatan mendengarkan lagu dan melihat gambar tersebut dilakukan karena sekolah tempat penelitian tidak memungkinkan untuk mengajak siswa ke luar atau ke alam bebas.
Setelah siswa dapat berimajinasi tentang alam atau lingkungan, selanjutnya siswa menukarkan puisinya dengan siswa lain dan mendiskusikannya. Setelah itu, siswa dapat membacakannya di depan kelas untuk dikomentari oleh siswa lain. Kegiatan dapat diakhiri dengan menyempurnakan puisi masing-masing. Selanjutnya puisi tersebut dikumpulkan dan dijilid untuk menjadi salah satu koleksi perpustakaan.
Hasil refleksi siklus I menunjukkan bahwa baik pertemuan I maupun II dalam kegiatan pembelajaran ini telah dapat mencapai tujuan pembelajaran dan tidak mengalami kesulitan. Lagu (syair lagu) yang dipergunakan guru sebagai alat dan bahan apresiasi dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi. Siswa antusias dalam mengikuti kegiatan pembelaaran. Karena itu, kegiatan pada siklus II tidak dilaksanakan dalam penelitian ini.



IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan beberapa temuan pada hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. (1) Kemampuan apresiasi siswa terhadap puisi dapat semakin meningkat jika guru menggunakan lagu sebagaii aat apresiasi. (2) Lagu yang dipilih sebagai sarana dan materi pembelajaran adalah lagu yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dapat menarik minat belajar siswa.
Selanjutnya, peneliti menyarankan beberapa hal berikut ini: Hendaknya guru dapat memilih lagu yang sesuai dengan minat siswa agar siswa lebih tertarik dan suasana belajar lebih mnyenangkan.


DAFTAR PUSTAKA


Chenfeld, M. B. (1978). Teaching Language arts creotitivel. New York: Harcourt  Brace Jovanovich Mc.

Depdikbud. (1993). Kurikulum 1994. Garis-ganis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa Indanesia. Jakarta: Depdikbud.

Hoffer, C.R (1984). A. Concise Introduction to Music Listening. California: Wordsworth Publismg Company.

Jamalus (1988). Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Depdikbud

Kartono,K. (1982) Psikologi Anak. Bandung: Alumni.

Kemmis, S danTaggart, R.M. (1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakm University Press.

Maley, A. (1987). Poetry And Songs as Effective Language Learning Activities. Interactive Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Murphey, T. (1990). Song and Music in Language Learning: An Analysis of Pop Song Lyric and The Use of Song ‘and Music in Teaching English to Speakers of other Langauage. New York: Peter Lang

Orlova, N. (1997). Developing Speech Habits with The Help of songs. English Teachmg Forum, 35.

Rahayu, N. S. (2000). “Penggunaan Lagu Anak-anak dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Penanggungan 02 Kecamatan Klojen Kotamadia Malang.” Tesis. Malang:PPS UNM.

Richard, C. J. dan Rogers S. T. (1990). Aporoarches and Methods in Language Teachmg.

Simbiok, F. (1 993). “Penggunaan Lagu Rakyat Sebagai Bahan Ajar Membaca Permulaan Murid-murid Sekolah Dasar di Irian Jaya”. Tesis. Malang: PPS IKIP Malang.    



KATA PENGANTAR



            Malam ini, Senin,  21 April 2008, pukul 21.00 WIB rampunglah sudah sebuah modul perkuliahan “Metode Penelitian Bahasa dan Sastra dalam Konteks Pembelajaran”.  Alhamdulillah, semua itu tentu tidak terlepas dari rahmat dan karunia-Nya jua. Kepada-Nya jualah kita berserah diri semoga kita senantiasa dalam lindungan-Nya.
            Malam ini sedikit kelelahan yang tersisa pun telah sirna jua manakala materi kuliah ini menunjukkan bentuknya. Yang ada hanya sebuah asa semoga untaian baris yang terbaca akan memberi makna bagi pembaca. Bersedialah membaca dan mencermati setiap baris modul ini dengan hati nurani. Melalui kajian ini pula, khususnya konteks PTK pada bab terakhir modul ini, betapa kita para guru dan mungkin juga para calon guru dihadapkan pada banyak masalah dalam pembelajaran. Masalah-masalah itu akan tergambar jelas manakala kita bersedia melihatnya dengan hati nurani. Pertanyaannya adalah selama 20 tahun saya menjadi guru, apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Apakah saya sudah mengajar dengan benar? Apakah saya pernah memarahi siswa saya hanya karena keterbatasan ilmu saya? Apakah cara saya mengajar dari tahun ke tahun selalu menggunakan strategi yang sama? Apakah buku panduan yang saya gunakan masih buku panduan yang saya gunakan 20 tahun yang lalu? Apakah semua siswa memahami dengan baik penjelasan saya? Inilah antara lain pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan hati nurani. Jika itu adalah masalah, marilah kita mengkaji dan memikirkan solusinya melalui PTK.
            Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagian besar isi bahan ajar ini penulis kutip sepenuhnya tanpa perubahan bahasa dari sumber aslinya. Hal ini disebabkan bahasa penulis buku sumbernya memang sudah cukup komunikatif. Di sisi lain, ada beberapa bagian dari buku sumber/buku rujukan untuk mengembangkan konsep bahan ajar ini penulis sarikan kembali dengan harapan akan lebih mudah dipahami oleh pembaca. Penulis juga mewarnai isi modul ini dengan pengalaman penulis sebagai seorang guru yang terkadang juga melakukan penelitian. Oleh karena itu, untuk memantapkan pemahaman pembaca terhadap konsep-konsep penelitian, disarankan pembaca juga membaca buku aslinya (silakan cermati Daftar Pustaka).
            Fokus utama kajian modul ini adalah penelitian kualitatif dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hasil akhir yang diharapkan adalah pembaca dapat memahami dengan baik konsep dasar penelitian kualitattif, perbedaan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif, dan PTK. Lebih lanjut, berdasarkan pemahaman itu, para pembaca khusunya mahasiswa yang memprogramkan Mata Kuliah Metode Penelitian Bahasa dan Sastra  dapat menyusun proposal penelitian kualitatif baik yang berupa PTK maupun penelitian kualitatif yang bukan PTK. Intinya proposal yang diharapkan dapat dihasilkan oleh mahasiswa adalah proposal penelitian dalam konteks pembelajaran. Namun, tidak tertutup pula kemungkinan mahasiswa dapat menyusun proposal penelitian tentang bahasa yang terlepas dari konteks pembelajaran. Setidaknya, modul sederhana ini akan dapat memberikan urunan yang berarti bagi pembaca. Selamat membaca, selamat berkarya, dan selamat berim-provisasi.


Darussalam, 20 April 2008

Penulis

feeds