1. Pendahuluan
Apakah saya sudah profesional sebagai seorang guru? Sebuah pertanyaan yang mudah dilontarkan, tetapi tidak terlalu mudah untuk dijawab. Dilihat dari kacamata orang awam, menjadi guru tidaklah terlalu sulit. Memiliki sedikit pengetahuan dan keberanian berdiri di depan siswa di kelas, maka jadilah seorang guru. Hal demikian diyakini dan diasumsikan oleh sebagian orang. Selain itu, banyak juga yang meyakini bahwa untuk menjadi guru, seseorang harus sudah menempuh pendidikan keguruan dan memiliki sertifikat untuk menjadi guru. Namun, barang-kali hanya sedikit orang yang bersedia menyisakan sedikit pikirannya untuk berpikir bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Bahkan, para guru sendiri, dalam jumlah yang sedikit, mungkin juga pernah berpikir bahwa tugas guru adalah berdiri di kelas dan menyampaikan sejumlah pengetahuan kepada siswa dari pukul sekian sampai pukul sekian. Ini adalah rutinitas seorang guru. Mereka menyebut pula, “Saya adalah guru senior yang sudah cukup berpengalaman”. Ini memang tak terbantahkan jika kesenioran hanya dipandang dari lamanya masa tugas sebagai guru dan pengalamannya berdiri di depan kelas. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan guru karena bagaimanapun manusia-manusia berkualitas yang pernah kita kenal tentunya tidak terlepas dari bimbingan dan didikan seorang guru.
Penulis yang juga seorang guru, dengan tulisan ini bermaksud berbagi sedikit pengalaman untuk menambah wawasan kita tentang guru dalam konteks pembelajaran. Marilah kita menyimak sebuah cerita berikut yang dituturkan oleh seorang mahasiswa calon guru.
Ketika itu saya kelas I SMP. Guru saya, pengasuh mata pelajaran X masuk kelas, bertanya jawab sebentar dan kemudian meminta ketua kelas kami menulis materi pelajaran di papan tulis untuk kami. Kemudian guru tersebut meninggalkan ruang kelas. Kami materi pelajaran sebagaimana yang ditulis oleh ketua kelas di papan tulis. Ketika waktu untuk pelajaran X tersisa 10 menit lagi, guru kembali ke kelas sambil berujar, “Anak-anak pelajaran kita hari ini kita akhiri sampai di sini, pelajari baik-baik materi yang baru kalian catat. Materi ini adalah materi penting. Kemudian beliau mengucapkan salam dan bergegas meninggalkan ruang kelas untuk mengajar di kelas yang lain. Selama satu semester, saya masih ingat bahwa guru mata pelajaran X hanya beberapa kali menjelaskan materi pelajaran kepada kami. Selebihnya, kami hanya mencatat materi yang dituliskan oleh ketua kelas di papan tulis. Namun, tidak pernah sedikit pun terbersit dalam pikiran kami untuk protes terhadap model pembelajaran yang demi-kian. Kala itu, saya, mungkin juga teman-teman saya, berpikir bahwa cara seperti itu adalah salah satu cara mengajar. “Oh begitu mudah menjadi guru” begitu saya pernah berpikir.
Hari ini, ketika saya menyimak pembacaan sebuah pengalaman pembelajaran (narasi case study) yang ditulis oleh seorang guru, pengetahuan saya bertambah. Saya menyadari bahwa adalah suatu kekeliruan jika seorang guru hanya bisa meminta ketua kelas menulis materi pelajaran di papan tulis atau mendiktekan materi pelajaran kepada siswa hingga jam pelajaran berakhir. Kiranya, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu seperti kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Saya menanamkan sebuah tekad di dalam hati, andai nanti saya menjadi guru, saya tidak akan mengulangi kekeliruan seperti mendiktekan materi pelajaran, menulis materi di papan tulis tanpa penjelasan apa-apa, mengabaikan pertanyaan siswa, kurang menghargai jawaban siswa, dan hal-hal lainnya yang merupakan kekeliruan dalam sebuah pembelajaran. Saya akan menunjukkan bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Demikian kisah seorang mahasiswa calon guru.
Apa makna yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Kisah tersebut menunjukkan kepada kita tentang pentingnya seorang guru menulis pengalaman pembelajarannya. Peng-alaman tersebut akan berguna bagi guru itu sendiri sebagai evaluasi diri (self evaluation) dan berguna b
SELAMAT DATANG
Cari Blog Ini
Kamis, 14 Oktober 2010
CASE STUDY: EVALUASI DIRI SEORANG GURU
CASE STUDY: EVALUASI DIRI SEORANG GURU
1. Pendahuluan
Apakah saya sudah profesional sebagai seorang guru? Sebuah pertanyaan yang mudah dilontarkan, tetapi tidak terlalu mudah untuk dijawab. Dilihat dari kacamata orang awam, menjadi guru tidaklah terlalu sulit. Memiliki sedikit pengetahuan dan keberanian berdiri di depan siswa di kelas, maka jadilah seorang guru. Hal demikian diyakini dan diasumsikan oleh sebagian orang. Selain itu, banyak juga yang meyakini bahwa untuk menjadi guru, seseorang harus sudah menempuh pendidikan keguruan dan memiliki sertifikat untuk menjadi guru. Namun, barang-kali hanya sedikit orang yang bersedia menyisakan sedikit pikirannya untuk berpikir bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Bahkan, para guru sendiri, dalam jumlah yang sedikit, mungkin juga pernah berpikir bahwa tugas guru adalah berdiri di kelas dan menyampaikan sejumlah pengetahuan kepada siswa dari pukul sekian sampai pukul sekian. Ini adalah rutinitas seorang guru. Mereka menyebut pula, “Saya adalah guru senior yang sudah cukup berpengalaman”. Ini memang tak terbantahkan jika kesenioran hanya dipandang dari lamanya masa tugas sebagai guru dan pengalamannya berdiri di depan kelas. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan guru karena bagaimanapun manusia-manusia berkualitas yang pernah kita kenal tentunya tidak terlepas dari bimbingan dan didikan seorang guru.
Penulis yang juga seorang guru, dengan tulisan ini bermaksud berbagi sedikit pengalaman untuk menambah wawasan kita tentang guru dalam konteks pembelajaran. Marilah kita menyimak sebuah cerita berikut yang dituturkan oleh seorang mahasiswa calon guru.
Ketika itu saya kelas I SMP. Guru saya, pengasuh mata pelajaran X masuk kelas, bertanya jawab sebentar dan kemudian meminta ketua kelas kami menulis materi pelajaran di papan tulis untuk kami. Kemudian guru tersebut meninggalkan ruang kelas. Kami materi pelajaran sebagaimana yang ditulis oleh ketua kelas di papan tulis. Ketika waktu untuk pelajaran X tersisa 10 menit lagi, guru kembali ke kelas sambil berujar, “Anak-anak pelajaran kita hari ini kita akhiri sampai di sini, pelajari baik-baik materi yang baru kalian catat. Materi ini adalah materi penting. Kemudian beliau mengucapkan salam dan bergegas meninggalkan ruang kelas untuk mengajar di kelas yang lain. Selama satu semester, saya masih ingat bahwa guru mata pelajaran X hanya beberapa kali menjelaskan materi pelajaran kepada kami. Selebihnya, kami hanya mencatat materi yang dituliskan oleh ketua kelas di papan tulis. Namun, tidak pernah sedikit pun terbersit dalam pikiran kami untuk protes terhadap model pembelajaran yang demi-kian. Kala itu, saya, mungkin juga teman-teman saya, berpikir bahwa cara seperti itu adalah salah satu cara mengajar. “Oh begitu mudah menjadi guru” begitu saya pernah berpikir.
Hari ini, ketika saya menyimak pembacaan sebuah pengalaman pembelajaran (narasi case study) yang ditulis oleh seorang guru, pengetahuan saya bertambah. Saya menyadari bahwa adalah suatu kekeliruan jika seorang guru hanya bisa meminta ketua kelas menulis materi pelajaran di papan tulis atau mendiktekan materi pelajaran kepada siswa hingga jam pelajaran berakhir. Kiranya, untuk menjadi seorang guru dibutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu seperti kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Saya menanamkan sebuah tekad di dalam hati, andai nanti saya menjadi guru, saya tidak akan mengulangi kekeliruan seperti mendiktekan materi pelajaran, menulis materi di papan tulis tanpa penjelasan apa-apa, mengabaikan pertanyaan siswa, kurang menghargai jawaban siswa, dan hal-hal lainnya yang merupakan kekeliruan dalam sebuah pembelajaran. Saya akan menunjukkan bahwa menjadi guru tidaklah segampang yang pernah dibayangkan orang. Demikian kisah seorang mahasiswa calon guru.
Apa makna yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Kisah tersebut menunjukkan kepada kita tentang pentingnya seorang guru menulis pengalaman pembelajarannya. Peng-alaman tersebut akan berguna bagi guru itu sendiri sebagai evaluasi diri (self evaluation) dan berguna b